Wednesday 30 January 2013

Fisika Dan Sastra


Kepada Si Fisika,

Atas nama fisika, kau mengatakan kau bahagia saat medan magnetmu dan aku bertemu di suatu titik berjarak nol berskala apa saja. Atas nama fisika, kau memaksaku menghitung massa hati yang berdebar saat tangan kita bertautan. Atas nama fisika, kau membuatku percaya bahwa E bukan hanya sama dengan mc2, melainkan juga kau dan aku yang tanpa sekat.

Kau sudah banyak mengatasnamakan fisika demi cinta kita. Cinta kita? Mungkin kini bisa ku ralat dengan kata cintamu yang buta.

Kau sudah dibutakan dengan hitungan matematika dalam fisikamu yang gila. Seharusnya kau tahu kalau cintaku dulu bernama tak terhingga, sama seperti angka nol dibagi bilangan apapun yang kau kagumi dengan sangat. Iya, rumus dasar matematika yang selalu mengawali setiap kecintaanmu pada fisika. Kau pernah berkata bahwa cintamu akan bertahan lama, selama jarak bumi dan matahari dengan ukuran kecepatan cahaya yang tak terhitung bilangannya. Aku pun pernah percaya, selayaknya aku mengawasi stellarium menanti rasi bintang kejora menampakkan batang hidungnya.

Aku pernah meredakan egoku untuk sedikit memahami semua rumus fisikamu yang membingungkan. Logikamu mengajariku berpikir bahwa cinta adalah saat ketinggian hatiku selalu jatuh di hadapan gravitasi pesonamu. Dan memang benar, tidak dapat ku sangkal walau awalnya terasa tak masuk akal.

Atas nama sastra, aku berkata bahwa aku bahagia saat kau dan aku mempuisikan perasaan tanpa sela. Atas nama sastra, aku memaksamu memaknai peribahasa yang tiba-tiba terkata kala cinta sedang ranum-ranumnya. Atas nama sastra, aku membuatmu percaya bahwa kita akan selalu bersama meski perbedaan selalu melekat tak hanya saat saling bergenggaman dan dekat.

Aku juga sudah banyak mengatasnamakan sastra demi cinta kita. Baiklah, aku ralat juga; cinta aku yang gila.

Aku selalu gila dengan perasaan mabuk kepayang bagaikan sehabis menelan buku-buku Kahlil Gibran. Seharusnya aku percaya perkataanmu tentang kegilaanku pada sastra lah yang nanti akan menyulitkanku pada akhirnya. Aku pernah berdusta bahwa aku akan selalu mencintaimu tanpa syarat, seperti saat aku sedang menyelam dalam tumpukan buku dan tak kembali bertahun-tahun lamanya, meski sebelumnya telah ku baca semua akibat. Aku pun selalu ingin membuatmu percaya, bahwa dustaku ini akan menjadi nyata hingga habis masanya.

Kau pun pernah memaklumi tingkahku dan melupakan hitunganmu demi belajar kata-kata mutiara bersamaku. Apakah menyenangkan pernah saling melempar celotehan yang sebelumnya bahkan terasa asing bagimu? Katakan, paksaku kala itu.

Atas nama cinta, kita membiarkan fisika dan sastra berbagi cerita. Atas nama cinta, kita mengecewakan mereka dengan hitungan dan perkataan yang seharusnya tak pernah ada. Atas nama cinta, kita mengusik hitungan yang sengaja dipermasalahkan dan bahasan yang awalnya tabu diperbincangkan. Ternyata kita tidak lebih dari sepasang kekasih yang menangis bersama demi mempertahankan kecintaan dan kebutaan kita masing-masing pada fisika dan sastra.

Aku tidak mengapa sudah menjadi yang lalu bagimu. Seperti kau yang tak pernah mengapa pernah melukai hatiku dengan hitunganmu. Setahuku, dari dulu cinta tidak hanya satu, tapi selalu dua, bukan tiga. Cinta tidak untuk diri sendiri, pun tak pantas terbagi. Kalau pun aku harus mencintai fisika yang tidak mencintai sastra sepertiku, pasti bukan dirimu. Kau pecinta fisika yang gagal memahami hitungan matematika dasar kelas satu. Ternyata fisika dan sastra tidak sama dengan kita. Terimakasih sudah mengajari sastra menilai massa benda. Setidaknya, aku pernah mencintaimu. Pernah.

Si Sastra

2 comments:

  1. sastra dan fisika, tiara dan ehem-nyaa
    yihahahah :D

    semangat menulis, poscinta tinggal beberapa hari lagi loh :D

    salam
    ikavuje

    ReplyDelete
  2. ehem-ehemnya tiara yang udah uhuk-uhuk :"D hihi makasih mbak pos ikah, seneng deh dikomentari tiap hari. rajin banget bacain surat pqrst satu-satu. :*

    ReplyDelete