Wednesday 2 July 2014

Resep Kreasi Cupcakes Cokelat

Choco cupcakes a la Tiara, voila!

Jadi ceritanya saya sedang beberes file di laptop sambil nunggu berbuka puasa. Eh malah ketemu foto cupcake jadul hasil kreasi sendiri. Sudah lama sih buatnya, tapi belum sempat berbagi resepnya. Itu aslinya cupcake cokelat lho, hanya cara penyajiannya saja sedikit berbeda.

Begini cara membuatnya..

Pertama siapkan dulu bahan-bahannya!

Untuk cupcake:
150 gram mentega
150 gram gula pasir (sebaiknya yang halus saja ya)
3 butir telur ayam
75 gram cokelat masak pekat, dilelehkan
175 gram tepung terigu
½ sendok teh cake emulsifier
½ sendok teh baking powder
10 sendok makan susu bubuk bubuk
1 sendok teh vanili bubuk

Untuk hiasan:
1 pcs cokelat m&m
100 gram cokelat masak warna putih
1 sendok makan kopi bubuk
cokelat crispy tabur secukupnya

Cara membuat cupcake coklat:
  • Pertama, kocok 3 butir telur, gula pasir, dan cake emulsifer hingga adonan berwarna putih dan terlihat mengembang.
  • Lalu, tambahkan cokelat bubuk, baking powder, vanili bubuk, dan tepung terigu sedikit demi sedikit, ayak dan diaduk-aduk sampai rata (*adonan utama) 
  • Sementara, lelehkan margarin dan coklat masak bersamaan.
  • Masukkan adonan margarin dan cokelat masak leleh kedalam adonan utama, sedikit-demi sedikit.
  • Selanjutnya, tuang adonan yang telah tercampur merata ke dalam cetakan muffin yang telah dialasi dengan paper cup sekitar 2/3 penuh.
  • Panaskan oven 180 derajat celcius, dan panggang adonan dalam cetakan muffin yang sudah ditata diatas loyang selama 30 menit hingga menggembang dan matang
  • Setelah itu angkat, didinginkan dan cupcake cokelat siap dihias
Cara menghias cupcake:
Pertama, lelehkan coklat masak warna putih dengan cara ditim, tanpa ditambah dengan margarin. *melelehkannya dengan margarin akan merubah warna cokelat

a. Siapkan cupcake panggang yang sudah matang, dan oleskan cokelat putih leleh merata, setelah itu, hias dengan cokelat m&m
b. Siapkan cokelat putih leleh dan campur dengan bubuk kopi secukupnya. Oleskan adonan tersebut ke cupcake panggang yang sidah matang, kemudian hias dengan cokelat crispy tabur.
c. Siapkan cokelat putih leleh, masukkan ke cetakan berbentuk hati (atau cetakan bentuk lain). Tambahkan sedikit coklat bubuk, aduk sebentar dan dinginkan. 
Hias cupcake panggang dengan cokelat putih leleh, ratakan. Dan permanis dengan menaruh hiasan cokelat berbentuk hati yang sudah dingin di tengah cupcake.


Dan, selebihnya, bisa dikreasikan sendiri sesuai selera masih-masing ya! Hasil dari adonan diatas adalah sekitar 8 buah lho :D

Bisa makan, bisa masak juga dong. (*asal ada alat dan bahan sih, haha) Jadi, monggo dicoba..

Saturday 21 June 2014

Pulang

Saya merasa harus menuliskan sesuatu tentang perjalanan pulang saya, lagi-lagi dari kota itu. Kota yang tidak begitu saya sukai, namun akhirnya barangkali akan saya tinggali sebentar lagi. Saya tidak begitu menyukai gedung-gedung pencakar langit dengan banyak kaca menyilaukan yang terlihat dari balik kaca taksi yang saya naiki. Pemandangan buratan senja di tepi laut dengan cakrawala tak berbatas jauh lebih menarik, tentu saja.

Saya mencoba mengingat-ingat pertama kali saya datang, tetapi bahkan ingatan saya sudah melupakan kesetiaannya pada pemiliknya. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari cerita saya, jika hanya pemikiran-pemikiran random tentang hidup tidak begitu menggangu saya kali ini.

Saya pernah merasa terdampar dengan perut kelaparan di terminal entah nomor berapa selepas penerbangan saya dari luar negeri. Seharusnya saya melanjutkan perjalanan saya dari kota itu ke kota saya dengan penerbangan terusan. Tetapi bodohnya, saya lupa memesan tiket pulang. Lebih bodohnya, saya lupa kala itu sudah masuk waktu liburan. Saya kehabisan tiket kereta, pun pesawat juga. Di antara kebingungan, yang saya temukan hanyalah seorang perantara yang menimang tiket seharga lima kali lipat harga biasanya. Hish!

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk segera pulang. Saya berencana pergi ke sebuah terminal bus, dan mencari penginapan di dekat sana, lalu pulang keesokan harinya, dengan bus tentu saja. Yang terjadi sesungguhnya, setelah saya sampai di terminal bus tadi, saya bertemu perantara lagi yang menjanjikan saya untuk pulang segera, tengah malam itu juga. Karena sangat lelah dan terlalu malas menyeret koper sambil menggendong ransel terlalu lama, saya meng-iya-kan saja tawarannya. Saya memandang bus tua renta yang akan membawa saya pulang. Akan menjadi perjalanan yang panjang, batin saya.

Saya duduk di samping pengemudi dengan terpaksa. Saya menyaksikan perseteruan beberapa lelaki paruh baya disana yang menyangsikan banyak hal ganjil yang mulai kelihatan. Saya tersadar, saya habis rugi bandar. Saya ditipu, tapi saya mau segera pulang. 
Di perjalanan, saya mendengar percakapan bapak sopir dan kernetnya, tentang jalanan yang tidak semulus biasanya, tentang pagi yang terik dan sore yang basah, tentang harga ban mobil dan onderdil. Saya diajak bicara seorang bapak paruh baya tentang hidupnya, tentang anak-anaknya yang beranjak dewasa, tentang rencana hidupnya yang akan segera pindah ke Sumatra sana. Saya mendengarkan, dan menghabiskan hampir seharian berharap saya segera di rumah. Sampai pada akhirnya saya diturunkan di tempat yang saya tidak tahu dimana, di kota sebelah kota saya. Saya benci harus menyeret koper sendiri di tengah malam. Tetapi begitulah yang saya lakukan, ganti bus dan meneruskan perjalanan.

Bukan hanya sekali saya pulang membawa cerita perjalanan yang tidak begitu menyenangkan. Saya pernah pulang dari kota itu naik kereta kelas ekonomi untuk pertama kalinya. Lucu rasanya, saya menelan dua tablet pengantar tidur saya demi ketidakpedulian saya pada kaki-kaki yang kram. Di lain kesempatan, saya juga terpaksa memperpanjang rute perjalanan saya dari kota itu dengan alasan yang berulang: saya kehabisan tiket pulang. Saya meninggalkan kota itu ke kota jarak tiga jam dari kota saya, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus. Teman saya sudah berpesan agar saya menunggu di tempat yang benar, tetapi saya memang seorang amatiran. Saya naik bus tua lagi, tanpa ac dan air mineral. Dengan banyak penumpang yang tidak pedulian.

Saya memandang seorang yang dengan santainya menyulut berbatang-batang rokok di kursi dekat saya. Dia memang sedikit berbeda. Saya hampir mengumpat, memrotes kepulan asap yang dia keluarkan dengan semena-mena. Saya memandang lelaki ini dari kursi belakang dengan seksama. Dengan segala keterbatasannya, barangkali merokok hanyalah sekedar pelariannya dari rasa sakit atas apa yang sudah diberikan hidup yang tidak bisa dia terima. Dia tidak sempurna, lelaki muda yang barangkali mengidap polio sejak lahir tetapi sayangnya tidak tertangani dengan begitu baik entah karena apa. Saya terdiam. Berdoa agar lelaki ini juga mendapatkan kebahagiaan.

Saya juga memperhatikan seorang ibu muda yang menggendong bayinya yang menangis keras di perjalanan pulang ini. Di sampingnya, si suami sibuk mencari mainan untuk menenangkan si bayi. Saya penasaran, akan tumbuh menjadi anak yang bagaimana si bayi kelak. Semoga yang dapat membanggakan kedua orang tuanya.

Saya memang kadang merutuk perjalanan pulang saya yang tidak biasa. Terlalu lama, terlalu melelahkan, terlalu menyebalkan. Tetapi saya tahu, hal-hal yang Tuhan tunjukan pada saya pada banyak perjalanan tadi membuat saya tersadar. Saya harus lebih banyak bersyukur setiap harinya, atas nikmat yang Tuhan limpahkan pada saya.

Ada sebuah pertanyaan yang pernah dilontarkan seorang teman, dulu, kira-kira lima tahun lalu. 
"Kalau hujan deras begini, kamu pernah kepikiran sama mereka yang nggak punya rumah buat berteduh?"
Kala itu, saya kurang mengerti maksudnya. Sekarang, setelah begitu banyak hal yang saya lihat di luar sana, saya mulai memahami.

Barangkali manusia harus hidup dengan memegang sebuah prinsip seperti lirik lagu dari salah satu grup vokal favorit saya, Maliq and d'essential, "Buka mata, hati, telinga.."

Monday 9 June 2014

The J Letter

For David Levithan, The Lover's Dictionary is a story about love, in all its messy complicated reality. For me, it's more than just a story about love, but a diary. Then I will write it in my own version.
I know the alphabets start with A, but let me write the J letter first. The letter just keeps resounding in my head.

jade : "I found you!" You said.

jail : Your theory; A girl is like a bird that needs a golden cage. My theory; A girl is like a bird that needs to fly and an arm to stay. Have you watched the pirates movies I've ever told you lately? Look at the parrots.

January : I blamed myself for not bringing you a birthday cake. You said, "It's okay. It doesn't matter anyway."  I know it's not okay, not that okay. I cried, I failed. Did I?

jealousy : Things like these. When you still phone your workmates more than once in our date. When you accidentally mention the girl from your past. When you forget to call me, just because you're too busy with your witty theory.

jilt : I can do this to you, but I just don't want to. You can do that to me too, but I know you won't do.

jitters : I remember your I-hate-so-much-habit of smoking too much cigarettes in front of me, which once you excused as your way to redeem your nerve talking things with me. I held your left cold hand while you’re driving us home, or the truth is.. you let me hold yours to convince yourself that you weren't dreaming. Oh dear, if this relationship is just a dream, will you want somebody to wake you up maybe?

jocosity : I talked about my funny thoughts, I laughed a lot. I knew you didn't understand but then you laughed a lot too, watching me.

joke : Do you like it? No. Do you like it? No. Do you like it? No. So what do you like? You!

jolly :  It's funny how we used to talk about random stuffs then laughed, too loud. 

journal : It takes 725 days to know why God planned us to meet again that time. That October night. On heavy rain, with coffee and memory. And I still don't know how many days will it take to know where God will lead us then.

journey : In every corner of the new place I've just found, every sunset I adore. It's you whom I wish I could share the view with.

joy : When you hugged me tight, smiling. I could hear your heart's beating. I could hear your voice, whispering. I could always recall the feeling. 

jubilee : If we aren't brave enough to dream it, will we make it? Life dares us to choose, to decide, to elaborate the mystery by ourselves. Close your eyes, hold my hands, imagine..

June : I still love you. Do you still love me too? 

July :  I'm counting. I'm counting. I'm counting. For now and then, until the day I meet you, again and again and again. Would you help me to count it too?

Wednesday 12 February 2014

Perkara Diam dan Menunggu

Sayang,

Aku baru saja memetik setangkai bunga rindu sebelum akhirnya aku memutuskan menulis sebuah surat sebagai bahan bacaanmu, barangkali nanti kau ada waktu. Kata orang, bunga rindu ini mirip sekali dengan mawar merah jambu. Sangat cantik, tetapi duri-durinya mampu melukaimu.

Akan aku beri tahu satu rahasia. Aku benci dengan jarak di antara kita. Bukan tentang sekian ratus kilometer yang memang seharusnya, melainkan jarak bernama diam yang sedang sengaja kita ciptakan. Entah ini cinta atau apa, yang jelas aku tak suka kalau kau tak lekas bicara, memecah hening yang memarnya sudah tak terkata.

Sudahkah kau tahu. Pun aku membenci aku—yang mungkin bagimu—terlalu sibuk dengan duniaku, dan kau—yang mungkin bagiku—tak mau memaksaku untuk meluangkan waktu. Atau barangkali sebaliknya, tergantung dilihat dari teropong mana. Sadarkah kau, kita sedang sama-sama terjebak dalam labirin yang kita bangun berdua. Aku tahu, doa yang aku kirimkan saja tidak akan cukup menenangkan pikiranmu jika kau salah mengartikan keangkuhanku. Kali ini aku akan mengalah, menyulut pijar yang seharusnya sudah kita lalukan bersama demi memberi pertanda. Temukan aku, dan kita akan meninggalkan labirin ini bersama, atau selamanya tersesat di dalamnya.

Seseorang pernah bilang, “Tak ada penantian yang sia-sia. Toh jika nantinya tak membuahkan apa-apa, paling tidak kau sudah punya ketabahan yang mengakar.” Setiap harinya kutanam pohon bernama ketabahan hingga barangkali nanti aku bisa berteduh di bawahnya saat matahari sedang terik-teriknya bersinar menyengat kulitku. Asal tidak ada orang yang sengaja menyiram minyak dan menyulut api bernama cemburu, kau tidak usah khawatir karena aku akan baik-baik saja berlindung di balik rimbunan pohon itu.

Barangkali, aku seperti perempuan gurun bernama Fatima yang sudah ditakdirkan menunggu. Aku seperti Fatima yang tidak sengaja ditemui seorang bocah yang dulunya hanya penggembala domba, yang pada suatu masa lebih memilih untuk meninggalkan domba-dombanya dan pergi mencari harta karun di dekat Piramida. Belum pernah mendengar ceritanya, bukan? Seharusnya kau membaca bukunya, seperti yang pernah aku katakan sebelumnya.

Akan aku beri tahu satu rahasia lagi. Aku pernah memilih untuk tidak pergi, menjauh sekitar hampir sepuluh ribu mil ke tempat dimana aku bisa menghirup udara baru karena aku juga memikirkanmu. Memikirkan kita. Seseorang mungkin mengutuk keputusanku, tetapi toh aku tidak perlu menjelaskan teoriku. Tiga tahun mungkin bukan waktu yang lama untuk menunggu, jika hanya kau tidak disiksa rindu dengan terlalu. Rindu juga seperti pohon perdu, yang mellilit leher, membuat sesak nafasmu. Jika dulu aku pergi, mungkin aku tidak seperti Fatima lagi. Alih-alih aku, kau akan merasa menempati posisiku, dan apakah kau mau menungguku selama itu? Karena percayalah, entah untuk egoku atau pelukmu, aku akan kembali. Seperti aku yang masih percaya tentang teori rasa, entah yang disambut atau yang disambit, bahwa kita akan mensyukuri tiap detik yang pernah ada. Aku tidak terlalu kekanakan dengan menganggapmu sudah dewasa, bukan?

Aku membayangkan rasa kopi yang kau minum pagi ini. Bisa jadi rasanya sangat pahit seperti rasa teh hitam tanpa gula yang kemarin malam aku minum terlalu larut, atau lebih seperti air tawar, hambar. Maaf karena aku belum pernah membuatkan secangkir kopi untukmu. Satu-satunya permintaan maaf yang seharusnya tidak aku tuliskan dalam bahan bacaanmu. Aku tidak mau berjanji akan membuatkanmu kopi suatu hari nanti. Kecuali, jika kau mau berjanji untuk menikmati teh hangat denganku sambil menertawakan hidup, suatu hari nanti.

Monday 3 February 2014

Jangan

Jadi, anggap saja ini sebagai tanda protes tertulis karena akhir-akhir ini kamu terlalu sering datang. Aku memang tidak bisa menyalahkanmu atas keahlianmu menyelinap masuk melalui banyak kesempatan. Pun aku tidak bisa begitu saja membiarkanmu mengusik hidup yang sudah aku bangun sekarang.

Seseorang mengingatkanku agar berterima kasih padamu. Dia bilang, aku tidak mungkin bisa menghindarimu. Kamu serupa ilalang; ada dimana-mana, bahkan di pojokan gurun gersang. Barangkali dia benar, atau barangkali dia hanya ingin pembenaran. Seseorang juga pernah bilang, kamu memiliki dua kepribadian; baik dan buruk. Tetapi baik dan burukmu tidak bisa dipisahkan, bukan? Tidak akan ada hitam tanpa putih, atau tidak akan ada putih tanpa hitam. Semacam itu lah.

Aku juga pernah bilang, kamu boleh sesekali datang menengok keadaanku. Tetapi jangan terlalu sering. Aku tidak mau mengorbankan yang sudah aku miliki sekarang. Bisa saja beberapa orang di sekelilingku tidak menyukai kehadiranmu, bukan? Kata mereka, jika kamu datang, kadang aku menjadi muram. Kata mereka, jika kamu datang, aku seperti terserang penyakit kronis bernama lupa. Aku lupa dengan kenyataan.

Barangkali sebaiknya aku memang hanya berterima kasih kepadamu, tidak lebih, tidak kurang. Karena kamu, sekarang aku merasa menjdi orang yang lebih disayang Tuhan—tentu saja jika dibandingkan dengan aku yang dulu misalnya. Karena kamu, sekarang aku merasa mempunyai banyak harta, lebih-lebih yang tak kasat mata; kasih dan sayang yang datang tidak hanya tiba-tiba saja. Karena kamu, sekarang aku menjadi aku yang sekarang. Aku yang lebih berbahagia menerima aku yang seutuhnya.

Terimakasih kenangan.. Aku akan membiarkanmu tumbuh di ladang gersang yang memang sengaja aku sediakan. Jangan protes, itu lebih baik daripada aku dikaruniai penyakit lupa yang mereka sebut amnesia, bukan? Sedikit rahasia, ladang gersangku penuh unsur hara. Kamu hanya perlu lebih jeli menemukannya. Jadi sudah, diam disitu saja. Jangan pernah kamu usik teman baruku yang bernama harapan. Dia sedikit rapuh, masih butuh dikuatkan. Dia sedang tumbuh di padang rumput yang lebih pantas disebut oase tentu saja.

Barangkali nanti kalian akan menjadi teman, bisa jadi kan? Di suatu sore, sambil memandang senja di tepian laut, aku akan duduk diam ditemani kalian. Harapan akan membisikkan padaku skenario yang baru saja ditulisnya. Iya, dia suka sekali menulis peluang yang dinamainya impian. Dan kamu, diam saja disitu. Jangan berusaha membuat gaduh atau aku akan memukul kepalamu dengan ranting kecil yang tak sengaja aku temukan. Jangan bertengkar, aku tidak akan suka meneriaki kalian dengan umpatan-umpatan.

Nah, sekarang mengerti lah. Kali ini kamu jangan terlalu sering datang. Aku sedang sangat sibuk mengurusi harapan.

Sunday 2 February 2014

Menanti Malam

Aku tidak pernah mengerti mengapa kau lebih suka datang kala malam. Aku tidak pernah tahu kemana kau pergi kala siang menjelang. Apakah siang terlalu terik bagimu, hingga kau harus terkurung di tempat persembunyian? Ataukah siang terlalu silau bagimu, hingga kau harus mengais lorong gelap sendirian?

Andai saja kau tahu, disini aku selalu setia menantimu siang dan malam. Meski kadang, aku bosan dengan siang tanpamu yang menjemukan. Meski kadang, aku lelah dengan penantian dirimu yang panjang.

Aku disini tidak punya teman. Bagiku, kau adalah ladang basah belum diolah yang akan ku paksa menampung biji-bijian dari kantongku yang keemasan. Ku namai mereka harapan. Bagiku, hanya kau yang akan mampu menyemai rerumputan di kala semua tertidur di kasur melipat-lipat khayalan.

Cepat datang, jangan bosan.

Aku, punguk yang merindukan bulan

Saturday 1 February 2014

Jadi, Februari..

Februari,

Sebelum nanti saya lupa, perkenankan saya melontarkan pertanyaan tentang kejutan apa saja yang sudah anda persiapkan untuk saya, boleh? Maaf jika terkesan kurang ajar, akhir-akhir ini saya hanya belajar lebih frontal dan formal. Anda tidak terlalu terganggu dengan kata ‘saya’ dan ‘anda’, bukan? Karena ‘aku’ dan kamu’ terlalu polos kedengarannya.

Daripada berputar-putar, sebaiknya mungkin saya menanyakan kabar anda. Jadi bagaimana, masihkah baik-baik saja dengan menjadi sosok anda yang dipuja khalayak muda dan dinanti-nantikan banyak manusia? Akan banyak—sebut saja—cinta yang disebar-sebarkan pada 28 hari masa jabatan anda, bukan? Lebih-lebih pada masa pertengahannya.

Jadi para pembuat coklat akan kebanjiran pesanan, pabrik-pabrik gula akan menaikkan jumlah produksi mereka menjadi paling tidak tiga kali lipat, dan akan banyak keuntungan yang diraup mereka pada masa jabatan anda yang singkat ini. Oh, barangkali para dokter juga sudah bersiap-siap kalau saja akan ada beberapa pasien darurat yang seharusnya tidak makan coklat, melanggar pantangannya. Sayang sekali jika angka penderita diabetes harus bertambah ya. Pekerja dunia mode dan para pengagum serta pengikutnya pun, barangkali kena pengaruhnya.

Tidak, tidak. Saya tidak menyalahkan anda dengan keriuhan perayaan pada bulan Februari yang sudah menjadi budaya di hampir seluruh belahan dunia ini. Toh, saya juga kadang-kadang menikmatinya. Sebagai pengemar coklat, tentu saya tidak bisa melewatkan potongan harga atau paket coklat cinta yang didisplay di rak-rak supermarket langganan saya, yang khusus ada pada masa jabatan anda. Bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk saya.

Jadi Februari, barangkali seseorang harus berterima kasih pada anda atau mengutuk adanya anda. Saya tidak terlalu menyukai anda karena anda terlalu banyak menghujani manusia dengan yang mereka sebut-sebut cinta. Bukannya segala yang terlalu itu tidak pada tempatnya? Dan lagi, anda mengingatkan saya pada beberapa hal yang seharusnya sudah sirna. Seperti cake coklat yang pernah saya buat sedikit terlambat. Saya menyesal tidak mencatat resepnya.

Saya hanya berharap, anda tidak terlalu banyak membawa hujan, seperti yang sudah Januari lakukan. Saya juga berharap, anda bisa segera mempertemukan saya kepada yang sudah saya damba-dambakan, membawa kabar baik yang saya nantikan. Selebihnya, kalau saya masih boleh berharap, secepat atau selambat apapun anda berjalan, biarkan manusia-manusia yang hidup di masa jabatan anda merasa bahagia dan bersuka cita, sebelum mungkin nanti mereka merasakan duka--bertemu dengan September misalnya.

Saya sudahi saja ya suratnya.

Salam

-kali ini peluk jauh saja-

Wednesday 8 January 2014

Kuil Asakusa Kannon Sensoji

Jika kita akan berlibur ke negeri Sakura, tentu saja kita harus merencanakan rencana perjalanan kita dengan sangat teliti. Jepang mempunyai banyak sekali obyek wisata, terutama di daerah Tokyo sendiri. Tokyo merupakan ibukota Jepang, kota yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita tertinggi di dunia setingkat dengan London dan New York. Obyek-obyek wisata yang ditawarkan di kota modern ini sangat beragam, misalnya obyek wisata kota futuristik, obyek wisata kuil-kuil tradisional, maupun wisata kuliner yang sangat mengundang selera.

Untuk yang tertarik dengan wisata tradisional di Jepang, ada satu kuil yang harus masuk dalam daftar rencana perjalanan selama di Jepang. Kuil yang bermana Kuil Asakusa Kannon Sensoji ini selalu ramai di kunjungi para wisatawan. Kuil ini terletak di Taito, Tokyo, sebuah daerah yang menyajikan begitu banyak hal yang sayang jika dilewatkan. Kuil ini dapat dijangkau dengan naik MRT ke stasiun Asakisa Eki, dan berjalan sekitar 10 menit. Di sekitar kuil, kita dapat mencoba menikmati naik becak yang ditarik oleh orang-orang jepang. Kita akan dikenakan biaya sekitar 3000 yen untuk perjalanan keliling sekitar kuil berdurasi 15 sampai 20 menit.

Di kuil Asakusa Kannon Sensoji terdapat dua lampion raksasa, satu terletak di gerbang pertama, dan yang kedua terletak di gerbang kedua setelah kita melewati Nakamise. Nakamise adalah sepanjang jalan menuju kuil Sensoji yang merupakan pasar tradisional, menyediakan aneka jajanan tradisional dan cinderamata untuk para wisatawan. Jenis dan harga cinderamata disini beragam, tetapi tidak boleh ditawar. Uniknya, setiap kita membeli cinderamata, penjual selalu membungkusnya dengan kertas kado.

Setelah kita melewati Namikase dan gerbang kedua di Asakusa, kita akan menemukan Omikuji di sebelah kanan jalan. Omikuji adalah alat yang dipercaya dapat meramalkan masa depan orang yang menggunakannnya. Kita hanya perlu membayar 100 yen, dimasukkan ke dalam kotak yang tersedia, mengocok tabung Omikuji dan mengeluarkan satu sumpit yang sudah ditandai dengan huruf kanji. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencocokan huruf kanji yang kita punya dengan huruf kanji yang ada di antara puluhan almari kecil yang sudah disediakan, mengambil ramalan dan membacanya. Jika ramalannya merupakan ramalan yang baik, kita boleh membawanya pulang. Tetapi sebaliknya, jika ramalannya merupakan ramalan yang buruk, kita harus menyimpulnya di papan kawat yang sudah disediakan dan meninggalkannya dengan harapan nasib buruk tidak ikut serta bersama kita.

Hal lain yang menarik di kawasan ini adalah sebuah nampan yang dipenuhi dengan dupa persembahan di tengah jalan dekat kuil Sensoji. Masyarakat percaya, siapa saja yang berdoa dan terkena asap dari dupa-dupa yang dibakar disana akan menjadi lebih pintar dan berilmu. Tidak jauh dari situ juga ada mata air yang dipercaya dapat membuat siapa saja yang membasuh muka disana dan meminum airnya akan awet muda. Hal ini sangat mirip dengan mitos mata air di Pura Tanah Lot, Bali.

Setibanya di depan Kuil Sensoji, kita dapat melihat yang tidak kalah menarik. Di sebelah kanannya, kita dapat melihat bangunan Tokyo Sky Tree dari kejauhan. Di sebelah kirinya, kita dapat melihat bangunan kuil Dempoin. Sayangnya kuil ini sudah ditutup untuk umum. Di kanan bangunan kuil Sensoji, terdapat tabung-tabung sake yang ditata. Tabung-tabung sake ini merupakan simbol persembahan kepada para dewa. Bangunan kuil Sensoji yang besar juga cukup menarik. Di depan pintu masuk maupun di dalam kuilnya terdapat nampan atau tempat untuk melemparkan koin. Kita dapat berdoa agar keinginan kita segera terkabul.


Untuk sebuah kota tua di Tokyo, Kuil Asakusa Kannon Sensoji sangatlah menarik. Di satu daerah saja kita sudah pasti akan mendapatkan banyak pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Foto-foto [dokumen pribadi] :



Bisa berdoa minta jodoh disini, lempar koin dulu~




Omikuji!
Leave your bad luck there~
Cuci muka, biar awet muda hihi
Hirup asap dupanya, katanya bisa pintar, atau sesak nafas :x
Maaf, narsis sedikit. Ini sake-sake persembahan yang saya maksud
Tengok ke sebelah kanan, ada Tokyo Sky Tree!

Becak yang biasa ditarik sama mahasiswa jepang yang kerja partime jadi mas-mas tukang becak, unyu :3
Jalan sekitar 10 menit dari luar kuil, bisa lihat view cantik dari  jembatan.