Friday 16 November 2012

Surat Cinta Terakhir; Di Stasiun Kereta


Aku baru saja menanam pohon bunga sepatu di halaman rumahku saat kau minta aku mengunjungimu. Andai bunganya mekar nanti, ku harap aku bisa memetik dan memakainya untuk menari di lantai dansa bersama sosokmu. Ini impianku, melantunkan doa-doa lewat tarian mesra dan lagu suka-cita menyambut percikan bahagia dari surga. Kau yang tahu bahwa aku suka menari meski mungkin tak sepandai dirimu, meski otak kananku tak telalu bisa berkompromi dengan kinerja saraf pengatur gerak motorikku, meski tubuh ini biasanya kepayahan mengikuti lantunan lagu-lagu yang bahkan mengartikannya saja aku tak mampu.

Kita pernah membangun taman bunga yang lebih menyerupai labirin bersama, yang bunga-bunganya ku pilih sendiri dengan perasaan haru, yang gudang tempat pupuknya berdiri di tanah lapang milikmu. Setiap tetes air yang kita jatuhkan untuk bunga-bunga itu bagaikan doa yang yang tak tersampaikan, doa yang selalu lupa kita panjatkan. Jadi tetes embun di taman itu, biarkan menjadi doa yang tak mampu kita teriakkan bersama.

Aku pernah bertanya padamu, percayakah kau pada Tuhan. Iya, jawabmu menyembunyikan keraguan karena tertutup logika-logikamu. Aku pernah bilang, aku suka melihatmu sembahyang, iya aku suka. Sedikit hal tentang beriringan menghadap Tuhan dalam kekhusyukan pun pernah kita kompromikan. Belum sekarang, kita lihat saja nanti, katamu. Iya, biar saja mengalir seperti air, sahutku.

Kita pernah terdiam di hamparan pasir milik Tuhan, memandang takjub ke cakrawala yang tak terbatas langit semburat biru menutup rasa heran, menanti senja yang cantik memabukkan pandangan, menyumpah ombak datang yang menggulung sederas air keran. Menyenangkan, sebuah memori yang tak ingin ku hapus meski yang lainnya mungkin hendak ku pupus.

Aku pernah ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti sajak-sajak yang selalu aku suka. Iya, mencintaimu dengan sederhana, tanpa banyak kata insecure kala cemburu melanda. Pun sejujurnya aku ingin dicintaimu dengan sederhana, tanpa banyak kata immature kala bosan meraja. Tidak sulit kedengarannya, tidak mudah pula kenyataannya.

Sebut saja aku egois atas semua kemanjaanku yang melulu ingin memeluk punggungmu, aku tidak peduli. Setidak peduli dirimu yang selalu merajuk menggodaku. Bukankah kita pernah terjatuh pada cinta yang membutakan bersama? Toh selama itu, kita tidak perlu mempermasalahkan bagaimana kau dan aku sempat pernah tidak mempunyai mata, bukan?

Jika cinta ini merepotkanmu, setidaknya milikilah dengan utuh, sebelum kau banting agar gaduh. Jika cinta ini kurang baik bagimu, setidaknya tunjukanlah kemana seharusnya berlabuh, sebelum tak kau acuhkan lagi hingga pemiliknya jenuh. Pun jika cinta ini menyulitkanku, setidaknya sudah ku tatakan sarapan, sebelum akhirnya ku lepas makan malam sendirian. Pun jika cinta ini kurang baik bagiku, setidaknya aku mungkin tak pernah enggan memaafkan, bahkan sebelum sempat kau mintakan.

Aku tidak pandai berandai-andai. Di sesap kegelisahan yang coba ku redakan sendirian, ada saja yang tak terbatas rinai. Jangan pegang gading pun belalai, jika tak sanggup kau jatuh di tepi pantai. Tenang saja, suntikan dogma-dogma baru yang kubiarkan masuk ke aliran darahku sudah cukup menenangkanku. Aku tidak suka sandiwara, pun linang yang disebut air mata. Kini aku tidak buta, jadi bersikaplah sebaik-baiknya. Berdoalah untukku seperti yang ku lakukan untukmu, di sela waktuku yang terbatas untuk mengingatmu. Ini yang kita sebut-sebut dengan kedewasaan, bukan?

Semesta lah yang mempertemukan kita di lantai dansa agar di selang nafas yang telah kita hembuskan tergesa ini, kau dan aku sempat menari bersama, kemudian merajut asa, dan pada akhirnya terhenti pada jeda yang terlalu lama. Bagaimana mungkin kita tidak mensyukuri setiap cara Tuhan membahasakan perasaan kita?

Aku pernah terhenti dan menghitung apa yang sudah kita punya. Mungkin cinta, mungkin asa, lalu apa? Jarak yang sempat terbentang di antara kita bukan alasan yang bagiku pantas diributkan. Rindu yang mencabik di antara waktu yang kita ulur bersama bukan alasan yang bagiku harus dipersoalkan. Saat tak terbentang jarak pun, kesibukan kau dan aku yang kadang terlalu bahkan bukan alasan yang bagiku patut dikoar-koarkan. Hingga akhirnya aku lupa bertanya, apa yang menurutmu baik bagimu, bagi kita. Hingga akhirnya kita lelah juga mengkompromikan visi dengan hati. Hingga akhirnya aku terpaksa pasrah juga melihatmu sempat salah melangkah. Hingga akhirnya aku juga yang bosan melihat kepura-puraan yang menjemukan. Maaf.

Kau pernah bertanya, apa yang aku bisa. Aku bisa mengajarimu sebuah bahasa baru, bahasa kalbu. Aku bisa menunjukkan padamu tarianku, tarian sendu. Aku bisa menuliskan sebuah kisah untukmu, kisah tentangmu dan aku. Apa ini sudah lebih dari cukup? Kuharap iya, karena aku sudah lelah. Aku ingin beristirahat barang sejenak. Aku ingin mengitung mundur waktu yang masih ku sisakan untukku, menilik langkah kakiku dan kakimu. Berbahagialah dengan kepergianmu dari hatiku, karena hatiku akan berbahagia menangisi kelegaannya untuk setiap jawaban dari pertanyaan yang tak sempat ia lontarkan kepadamu. Meski memarnya tak jua bisa sembuh sekejap mata, butuh waktu, masih butuh campur tanganmu.

Saat esok tiba, kau dan aku mungkin sudah akan sadar sepenuhnya, bagaimana kau mulai kehilangan rasa, dan bagaimana aku mulai merasa kehilangan asa. Pernah terpikirkan olehmu tidak, apa yang akan kau dapat dan dimana kau akan merapat saat kau pertama membagi hatimu? Sama, aku pun tidak pernah berpikir sejauh ini saat pertama aku mengikis asaku. Menyesal? Untuk apa, semua sudah berlalu. Aku bahkan tidak pernah menyesal pernah berpura-pura tidak terlalu membutuhkanmu, sama halnya dengan kau yang tidak pernah menyesal pernah berpura-pura tidak terlalu mencintaiku. Kau dan aku sama-sama sombong, sama-sama angkuh. Jika kau anggap ini sebuah drama, lalu kau pikir sudikah aku menganggap cinta kau dan aku dulu barang ilusi saja?

Saat kau minta aku untuk tidak membencimu, seharusnya kau sudah tahu jawabanku..

Anggap saja ini surat cinta terakhirku. Bukan doa yang kuselipkan di kado ulang tahunmu, bukan mimik muka yang selalu ingin ku gambar di salah satu jemarimu, bukan pula coretan yang sempat aku buat diantara lembar kerjamu. Ini surat cinta yang kutulis dengan tinta ungu untuk obati hatiku yang sedikit kelu karena rindu sosokmu yang dulu. Aku menulisnya lebih karena aku tak mampu membisikkannya ke telingamu; aku terlalu angkuh, sama sepertimu. Bawalah, sembunyikanlah, milikilah sendiri selagi kau mampu. Selamat pagi buta, kereta sudah memanggilmu. Temui aku di stasiun berikutnya, jika kita masih sempat punya waktu. Atau, jika kisah ini pada akhirnya hanyalah persinggahanmu dan aku, maka baiknya kita relakan, maka baiknya kita ikhlaskan, karena Tuhan lah pemilik rancangan dari segala rancangan, karena Tuhan lah yang paling tahu kemana seharusnya kau dan aku berhenti saat sedang tidak mencoba saling bertemu meski dalam angan.

*untuk yang terkasih, sebuah memoar selamat tinggal

Thursday 11 October 2012

#PecahDiUbud

Jadi ceritanya, pagi buta itu, sekitar jam 2 pagi tanggal 5 Oktober itu, aku lagi gentayangan di timeline. Hahaha, terus mas Alex lagi ngetwit pake hashtag PecahDiUbud, terus aku ikutan, terus ketagihan, terus.. Hahaha. Dan sumpah, walau temanya bisa bikin nyesek (kampret, sempet nyesek beneran deh), but it's kinda addicting. (,--)
Kalo ditanya kenapa Pecah Di Ubud? (Masih) kalo kata mas Alex, sejarahnya adalah ada beberapa orang berkumpul di Ubud, dan ‘pecah’ bareng in heartbreak. Begitulah..

Here's my tweets..

Should I still call it love, when there is no more us between you and I?

We used to be together, we used to love each other, so why can't we stay to be lover?

You keep loving your reflection. I keep loving my imagination. Once of our lives, can we keep walking through our direction?

Don't say I've hurt you that much. You just never realize that I love you so much.

I kissed you in the rain. You hugged me for those pain. See, love was never easy to explain.

I remember a poem you gave me, unfinished poem of our eternal love that have ended somehow.

I've never felt a bittersweet kiss before yours. A kiss you gave me to say 'I don't love you anymore'.

For once of my life, let me hate you for a second. Because I've loved you for years, even when you never notice my tears.

The wind of your presence now have waken my gloomy memories up. Those I've burried when we decided to break up.

I love to see you have those loud laughs, even when they aren't for me anymore.

You hurt me. I hurt you back. And we never understand why we let it happened, till it finally broke our promises.

I can always find another man much much better than you, but I just don't want to.

*kalo dibaca dari awal sampe akhir, mirip cerita ya? haha! x)


Nah, selain twit-twit (pagi buta)ku tadi, ada beberapa twit bagus lainnya pake hashtag PecahdiUbud. Sebenernya banyaak yang bagus, tapi bakalan baru selesai bulan depan kalo ditulis semua. Check some.

: our memories are like dry leaves, dead. but people surely step on them just to hear the cracking noise. we're just an old story

: You've accepted me as a lover, but can you accept me as a commitment?

: Before you, I heard love is just for two

: John Mayer was right. All we ever do is say goodbye. One question remain unanswered: why?

: it's irony that the best remedy of the pain you left is by keep remembering you. Bitter.

#PecahDiUbud RT : Kini, apa yang kau ketahui dari diriku? Selain seseorang yang masih saja mengarapkan masa lalu menjadi masa depan

Monday 1 October 2012

Selamat Malam Uti!


“Leh ngati-ati sekolahe. Tumindak leh becik. Neg wis dadi wong sukses sesuk, ojo ngasi lali karo sedulur yo nduk..”

Kira-kira begitu kalimat paling aku ingat dari Eyang Uti. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia sih intinya, aku dipesan untuk tidak melupakan saudara-saudaraku kalau sukses nanti. Sudah sebulan lebih sejak terakhir aku betemu beliau. Eyang Uti, ibu dari Ibuku, adalah wanita tua buta huruf yang suka sekali menahanku kalau aku hendak pulang lepas mengunjunginya. Aku memang dekat dengannya. Aku suka mendengar ceritanya, walau kadang bosan dan kelu karena hanya itu-itu saja. Ceritanya tidak pernah berubah, selalu tentang silsilah keluarga, tentang keluarga di Bali, moyang dari Sampang Madura, tentang beberapa orang-orang tua bernama Raden Rangga Rini, Tumenggung Mandalika, Pangeran Katong, Raden Ayu Saraswati, entah siapa lagi. Aku tidak selalu memperhatikan memang, tapi aku ingat runtutan cerita Eyang Uti dengan hampir sempurna. Setiap kali beliau bercerita, aku seperti mendapat setumpuk buku dongeng tidur yang aku suka. Aku dan keluargaku memang pernah tinggal serumah dengan beliau selama sekitar empat tahun. Lalu kami pindah rumah, lalu kami jadi jarang bertemu, lalu kami kadang rindu. Dulu, masih ada Akung yang setia ditemani Eyang Uti. Sampai akhirnya tiga tahun yang lalu, Akung berpulang, Eyang Uti sendiri..

Pagi tadi aku membuka album poto lama yang aku temukan sembari menata kamar. Ada potret Eyang Uti yang kira-kira diambil dua puluh tiga tahun lalu, saat beliau menemani Akung menjadi wali nikah orang tuaku. Dimana lagi aku bisa menemukan potret Eyang Uti  selain di album poto pernikahan orang tuaku. Potret diri beliau tidak jauh berbeda dengan beliau saat terakhir kali bertemu saat Lebaran bulan Agustus lalu, masih sangat terlihat begitu jawa, masih terlihat hitam, masih terlihat dengan kondenya, hanya lebih hidup, lebih tersenyum bahagia, lebih bernyawa.

Di playlistku malam ini hanya ada satu lagu. Lagu yang membuatku merasa sedikit lebih baik mungkin. Satu diantara banyak lagu Mariah Carey yang aku sukai dengan sangat.

/ I never knew I could hurt like this / and everyday life goes on like / "I wish I could talk to you for awhile" / miss you but I try not to cry / as time goes by / and it's true that you've reached a better place / still I'd give the world to see your face / and I'm right here next to you / but it's like you're gone too soon / now the hardest thing to do is say bye bye /

Seharusnya aku sudah ikhlas. Seharusnya aku sudah merasa cukup dengan mengatar Eyang Uti berpulang ke tempat peristirahatan terakhirnya, lebih dari sebulan yang lalu. Terlalu banyak cerita yang seharusnya aku bagi dengannya. Terlalu banyak rindu yang masih menyesaki dada. Andai saja masih bisa bertemu, aku rela mendengar lagi ceritanya, yang itu –itu saja. Iya, aku rela..

Kemarin kami mengirim doa untuk beliau, lewat yang kami kenal sebagai adat jawa, empat-puluh hari sejak tanggal berpulangnya. Semoga beliau tenang di alam sana, karena kami disini baik-baik saja. Karena aku disini baik-baik saja.

Selamat malam Eyang. Salamat jalan..

Thursday 23 August 2012

#1


Dalam rentetan doa tidak beraturan, seorang anak kecil terdiam. Dia hanya ingin mengucapkan doa seperti orang-orang, dengan yang mereka sebut khusyuk, dengan linang yang ajaibnya mereka teteskan dari kedua bola mata mereka, dengan mimik sakit siksa yang mereka rasa mengenang semua dosa. Iya dosa, anak kecil itu bakhan tak tahu apa itu dosa, lalu bagaimana dia bisa berlaku seperti mereka? Butakah matanya, tulikah telinganya, atau mati rasakah hatinya? Tidak. Dia hanya tidak mengerti konsep kehidupan, terlalu lama terjebak dengan banyak boneka nyaman, terlalu lama tidak mempedulikan sengat lebah diantara taman bunganya, terlalu lama berpura-pura bahagia dengan keranjang buah plastik pemberian Ibunya.
Dadanya sakit, sesakit ditusuk gading purba tepat di jantung bernadinya. Biasanya dia merengek pada Ibunya yang lalu tergesa mengambil segumpal ramuan kasih untuk mengobatinya. Kali ini tidak, dia diam. Dia sedang berpura-pura, dan menelan kesedihannya mentah-mentah. “Aku ingin tahu apa aku bisa seperti mereka.” katanya. Dia bertahan, dengan keras kepala dia bersikeras berpura-pura tidak menderita dengan pilihannya. Seolah menolak uluran tangan yang bahkan belum sempat menjadi nyata, walau tubuhnya rindu meringkuk dalam peluk hangat entah siapa saja.
Dalam kebisuan, dia bertanya pada Tuhan seolah sudah mampu merangkai gumpalan kata-kata untuk anak seusianya,
"Rancangan apakah yang kau persiapkan untukku Tuhan?"
"Baikkah untukku? Menyenangkankah seperti taman bermainku?"
"Burukkah untukku? Mengerikankah seperti hantu yang datang di setiap mimpiku?
Diam.
Diam.
Diam
Tiada jawaban.
Tuhan tidak mau menjawab.. pikirnya.

Saturday 14 July 2012

An Orchestrated Destiny

A coffee is sweet; in its bittersweet,
And life is so harsh to drop these bloody sweat.
When people are easily push to get some to eat
There are so many ways just to cheat

We wonder of a dimension
Among those non sense hallucinations
These confusions will meet its decision.
When no more domestic heartache,
Our destiny will be carefully orchestrated.
So that, we need more than just a long long wait.

Friday 13 July 2012

You

You taught me that love is no more than just an irony
When we are too busy talking about memory.
You taught me that pain is fine;
What I need is just a case of wine.

You are the only thing that swimming around my mind.
You have all the things on the swirling skies of mine.
What you do is always in a nevermind,
Unless for making myself so blind.



*originally written long time ago, about two or three days before Indonesian Literature Day, in the middle of the night, or perhaps in that very early morning, while remembering some 'coffee' things about that witty tweety snake-head murrel.

Saturday 7 July 2012

Dreams

"Kalo kamu punya impian, kamu harus punya wujudnya." -Eva, di sela diskusi kelompok analisis novel semester enam.

Kalimat itu yang selalu terngiang di telinga. At least, aku mendengarnya dari orang yang sudah meraih cita-citanya, mengunjungi Eropa dengan biaya sendiri. Dia ini teman kuliah, ibu muda dari balita blasteran yang tinggal di Belanda atau Jerman sana. Bagi kelompok kami yang sedang berdiskusi tentang Animal Farm karya George Orwell, dia ini Boxer yang pekerja keras. Hahaha
Sebelumnya, aku juga mengenal orang yang cukup memotivasi. Namanya mas Hanggara, lima tahun lebih tua dariku. Dia memang pintar, yah lelaki muda terpintar yang pernah aku kenal sepertinya. Saat aku masih di bangku SMA, dia sudah terdampar di Austria untuk melanjutkan studi S2nya, lewat jalur beasiswa. Envy? Banget.
Percaya tidak kalau masih ada orang pintar yang tidak sombong, begitulah yang aku tahu. Dia hobi memberi referensi link beasiswa ke luar negeri, sayangnya studiku belum juga kelar. Terakhir bulan kemarin, saat aku mengucapkan selamat atas pernikahannya, dia masih sama, masih semacam memotivasiku untuk segera menuntaskan studiku. Terharu? Iya, hahaha.
Nasib orang memang beda-beda. Ada yang sudah terlahir di keluarga mampu, jadi bisa bolak-balik keluar negeri seenaknya. Ada yang diberi kapasitas otak yang lebih tinggi dan keberuntungan besar, jadi bisa bolak-balik keluar negeri melanjutkan studi tanpa biaya. Ada yang pada akhirnya berjodoh dengan orang di negeri seberang jauh sana, jadi bisa bolak-balik keluar negeri dengan sebuah tujuan yang lebih nyata.
Beberapa hari yang lalu, aku mengobrol dengan tamu berkebangsaan Prancis di tempat kerja. Mereka adalah sebuah keluarga dengan bayi umur satu setengah tahun yang sedang berlibur di Indonesia. Bayi ini, sudah menghabiskan paling tidak satu bulan di indonesia. Mengunjungi kota-kota besar, mulai dari Medan, dan akan berakhir di Denpasar nantinya. See, how lucky he is!


Meluangkan waktu mengobrol dengan beberapa teman di beberapa belahan dunia juga sudah banyak membuka mata. Banyak yang belum aku tahu ternyata, bahkan tentang Belanda, negeri yang sangat ingin aku kunjungi jika aku berkesempatan ke Eropa. Hahaha. Lucunya, anak kuliahan sepertiku ini berani bermimpi sampai kesana. At least, I have a dream. Iya kan, kan, kan. :p
Aku tidak tahu kenapa Belanda, mungkin karena sejak kecil aku sudah sering mendengar bahasanya. Akung, pria tua indonesia pertama yang aku tahu bisa berbahasa Belanda dengan cukup fasih saat Ayahku mengajak para tamu berkebangsaan Belandanya ke rumah kami dulu. Mungkin juga, karena lebih banyak orang-orang yang aku kenal disana. I wish I have so many chances to meet them again. Sekarang, yang aku lakukan hanyalah belajar bahasanya. Jaman Belanda masih di Indonesia yang akses pendidikannya terbatas saja, Akung bisa, kenapa sekarang aku enggak? Coba Akung masih disini, pasti aku akan banyak mengunjunginya di masa tua. Menanyainya, mengajaknya mengingat kosa kata bahasa Belanda hanya untuk sekedar bercerita, atau merajuk dan sedikit memaksanya mempraktekkan ilmunya. Duh, tiba-tiba jadi kangen Akung. Lama sudah tidak mengunjungi pusaranya.
Kalau ke Belanda, aku mau ke Keukenhoff. Hahaha, mungkin setelah itu ke negeri di sebelahnya untuk mengunjungi kota Brussel, atau Barcelona, atau lebih ke timur lagi ke Belgrade. Aku masih muda, toh masih banyak yang harus aku kejar dan dapatkan sebelum akhirnya aku memutuskan berumah tangga. Eh, kenapa jadi  bahas berumah tangga ya? Hehehe.

Ah, sudahlah. Mari bermimpi, mari mewujudkannya. Kalau ada orang yang bilang bahwa kita tidak perlu bermimpi terlalu tinggi karena kalau jatuh akan sakit nantinya, pasti dia pernah terjatuh dan hanya ingin memenuhi otakmu dengan bayangan kegagalan pada akhirnya. Kalau kita belum mencoba mewujudkannya, mana tahu hasilnya? Lebih baik pernah mencoba, dan gagal, dan mencoba lagi, dan berhasil kan. Jalan hidup kita yang pilih, tinggal urusan Tuhan mau memberikan kemudahan atau menunjukkan opsi yang lebih baik nantinya. Jangan lupa berdoa, jangan pernah sekali-kali meremehkan kekuatan doa. Bismillah..






Tuesday 15 May 2012

Mahakarya Bangsa Belanda Yang Tak Habis Dimakan Jaman

"God created the world but the Dutch created Holland."
Pernahkan kalian membayangkan tinggal di suatu daerah yang terletak di bawah permukaan air laut? Coba bayangkan tinggal di negeri Belanda. Belanda merupakan negara kecil di Eropa Barat yang seperempat luas wilayahnya berada di bawah permukaan air laut. Dahulu, daerah di negeri Belanda yang dapat dihuni hanyalah dataran tinggi di daerah timur dan selatan, sementara dua per tiga sisanya merupakan daerah yang sangat rawan banjir. Dalam catatan sejarah, salah satu banjir paling merusak di Belanda terjadi pada tahun 1421, yang dikenal dengan St. Elizabeth's flood.
Dengan negara yang jumlah penduduknya terus bertambah, bangsa Belanda mencoba mencari pemecahan masalah dari isu banjir yang dimilikinya. Pada abad ke-18, bangsa Belanda berinovasi dengan membangun polder untuk mengeringkan air di dataran rendah agar daerahnya dapat ditinggali. Polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh timbunan atau tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan, yang berarti tidak memungkinkannya kontak dengan air dari daerah luar selain yang dialirkan melalui perangkat manual. Kini, polder yang menjadi fondasi utama sebagian besar wilayah di negeri Belanda ini dipakai di beberapa negara seperti di Belgia (De Moeren, Kabeljauwpolder, Polder of Stabroek), Prancis (Marais Poitevin dan Les Moëres), Kanada (Holland Marsh), dan lain-lain. Inovasinya sedikit banyak telah memepengaruhi tata kota negara di dunia. Bandara Schiphol di Amsterdam yang berada 4.5 meter di bawah permukaan air laut adalah bukti suksesnya pembangunan polder oleh bangsa Belanda.
Kinderdijk
Selain polder, ada pula bangunan lain yang pertama kali dibuat oleh arsitek Belanda, Jan Adriaanszoon Leeghwater, yaitu; kincir angin. Inilah alasan mengapa Belanda dijuluki sebagai "Negeri Kincir Angin". Kincir angin sendiri berfungsi untuk memindahkan air limpahan polder menuju ke sungai. Ada sebuah desa kecil di Provinsi Zuid Holland bernama Kinderdijk yang mengoleksi lebih dari 19 kincir angin dari abad ke-18. Pada tahun 1997, UNESCO menempatkannya dalam daftar World Heritage Sites.



Mulai dari polder dan kincir angin, bangsa Belanda mulai berkreasi dan terus-menerus mengembangkan inovasinya untuk penanggulangan banjir dengan moderenisasi karya dan orientasi internasionalnya, seperti Zuiderzee Works maupun Delta Works. Polder dan kincir angin adalah dua mahakarya abad ke-18 bangsa Belanda yang menjadi sumber segala inovasi para penduduknya.



Friday 11 May 2012

Para Penari

Mereka terus menari. Memulainya dengan langkah buta, tapi menolak untuk peduli. Seolah sedang berpentas di atas panggung megah teater lama yang kian terlupa. Gerakannya terus mengikuti irama yang sama; desahan nafas tertata, dan degub jantung yang tak terkata. Tak ada kilatan kilatan cahaya yang menyemarakkan kesukacitaan di antaranya, tapi mereka melaju saja. Entah tarian apa yang sedang coba mereka perlihatkan. Pasti bukan empat ketukan salsa, atau enam langkah mesra bachata. Lebih rumit, hanya tersaji secara sederhana. Nah, tidak usah terlalu serius memperhatikannya. Nikmati saja. Sesap yang coba mereka pertontonkan pada kalian; gerakan gerakan dasar yang berkesan amatiran, pun langkah gontai beberapa di antaranya yang kerap kehabisan peran.
Di atas panggung beralas hitam yang awalnya menyiksa ini, mereka memulainya. Butuh lebih dari sebungkus keberanian untuk melihat ke arah si produser wanita di depannya, yang kadang mendecakkan sebait kekecewaan. Entah lebih karena ketidakberaturan kesepuluhnya, atau ketidakpuasan yang sengaja dibuat nyata. Toh jika tak mampu menari dengan nyaris sempurna, mereka tahu konsekuensinya apa. Bukan depaka si produser wanita tentunya. Hanya tarian mereka yang tak akan diakui sebagai mahakarya.
"Ini hanya awal.." kata kesepuluhnya, lirih, terbata, sembari menatap lekat mata pemiliknya, yang pada akhirnya menghadiahi rekah mawar tanpa keraguan. Dia pula si produser wanita, yang membiarka para penarinya; jemari mungil yang kuku kukunya berkuteks hijau pudar itu, menyanyikan senandung bahagia. Dia biarkan mereka menari, setidaknya mungkin, hingga habis masanya..

Wednesday 4 April 2012

Jurnalisme Baru & Jurnalisme Sastra

Pada era kemunculan new journalism atau jurnalisme baru, reportase disebut-sebut sebagai adegan penting jurnalisme, bagaimana seorang reporter melaporkan dari kejadian yang saat itu dilihatnya, tanpa menulis ulang laporan yang biasanya disajikan secara kaku seperti pada penulisan staright news. Si reporter mengajak pembaca beritanya seolah menyaksikan langsung suatu kejadian dalam penggambaran yang sangat rinci. Ini merupakan teknik barureportasi dan gaya pelaporan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat narasi lama. Penulisan dialog, sikap, ekspresi menjadikan hasil pelaporannya bersifat impresionik. Teknik penulisan ini tettu memerluakn depth information yang lebih dibandingkandengan pelaporan biasa karena dalam pekerjaannya ada peliputan yang dikerjakan di luar kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yaitu; mengamati seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai point of view, dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai. Tentu saja, reporter yang menggunakan gaya penulisan tersebut memerlukan waktu yang lebih banyak dalam menyajikan beritanya.
Jurnalisme Amerika pada tahun 60-an memang mendekati sastra karena banyak dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penuliasan novel yang tengah menjadi trensetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.
Pada tahun-tahun tersebutlah jurnalisme baru lahir. Hal ini berawal dari penolakan para penulis dan redaktur jurnalisme baru terhadap cra kerja jurnalisme tradisional dan dasar-dasar pemikiran mereka. Di lainpihak, kompleksitas masyarakat yang menuntut para reporter muda untuk lebih membingkai liputannya dalam reportase yang lebih menyeluruh dan mendalam. Para perintis jurnalisme baru menganggap para jurnalis lama tidak mau membuka diri terhadap wacana yang real time. Berbagai peristiwa perlu dilaporkan, tanpa dihalang-halangi sekat-sekat tengat waktu dan kolom-kolom headlines dari teknik penulisan matter of fact atau straight news. Gaya penulisan jurnalisme lama dinilai mempunyai banyak kemungkinan bias, cacat, bahkan bodoh dalam memetakan view of the world.
Menurut kalangan akademisi Amerika, eksplorasi hasil kerja para jurnalis baru tersebut dapat didefinisikan dalam beberapa bentuk; 1) menggambarkan kegiatan jurnalistik yang bertujuan menciptakan opini publik dengan penekanan pada obyektivitas pers demi bekerjanya fungsi "watchdog" (penjaga moral) dari the fourth estate press atau kekuatan keempat setelah trias politica. 2) memetakan upaya jurnalisme yang mengkhususkan target pembacanya dengan model penerbitan jurnal-jurnal kecil yang memuat materi khusus berdasarkan profesi atau kebutuhan tertentu sekelompok masyarakat. 3) menggunakan metode ilmiah dan teknik reportase dan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang disyaratkan oleh dunia akademis ke dalam teknik pencarian berita. 4) membuat sajian berita yang sejenis dengan kreasi sastra; secara kreatif menjiplak nilali, norma, dan kaidah penulisan satra serta mengemasnya menjadi gaya baru dalam penulisan nonfiksi.
Seorang komunikolog, Fred Fedler, telah membagi jurnalisme baru menjadi empat, yaitu:
1. Advocacy Journalism
Advocacy journalism adalah kegiatan jurnalistik yang berupaya menyuntikkan opini  ke dalam berita. Tiap reportase, tanpa mengingkari fakta, diarahkan untuk membentuk opini publik. Obyektivitas bukan menjadi hal yang mati-matian dipertahankan dalam penuliasan berita, karena hal tersebut memang tidak mungkin didapat oleh seorang penulis berita. Setiap wartawan, dalam peringgungannya dengan realitas kemanusiaan, pasti dipengaruhi referensi pemikiran dan pengalaman sosial di masa lalu. Obyektivitas akan lebih kuat jika dicampur dengan pemikiran wartawan yang memakai metode peliputan terukur dan terfokus pada prespektif amatan tertentu.
2. Alternative Journalism
Alternative journalism adalah kegiatan jurnalistik yang menyangkut publikasi internal dan bersifat lebih personal. tujuannya adalah menggerakkan minat dan sikap, bahkan perilaku, sekelompok khalayak yang mereka tentukan sebagai pangsa konsumen.
3. Precision Journalism
Precision journalism adalah kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan informasi dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya. Perkembangannya difokuskan pada kerja pencarian data dan dibatasi dengan ukuran ketepatan informasi yang empirik, dimana hasil kerja liputan para jurnalisnya harus mempunyai kredibilitas akademis ketika diinterpretasi oleh masyarakat. Langkah sistematis, sperti mencontoh penelitian akademis, dilaksanakan secara teratur dan konsisten sehingga hasil peliputan berita memiliki reabilitas dan validitas. Para jurnalisnya banyak menggunakan metode riset untuk membungkus isu-isu sosial. Karenanya, angka-angka statistik dalam bentuk grafik dan tabel digunakan sebagai alat untuk mentansfer fakta ke dalam akumulasi data kuantitatif.
4. Literary Journalism
Literary journalism atau jurnalisme sastra adalah kegiatan jurnalistik yang menggunakan gaya penulisan fiksi untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel lebih memikat. Hasil pelaporan jurnalis sastra yang menghadirkan suasana fiksi dalam teks fakta tersebut adalah sebuah teks yang amat langsung, dengan realitas yang terasa konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya. Jurnalisme sastra banyak diaplikasikan dalam penuliasan travelling, memoar, esai-esai, historis dan etnografis, sejumlah fiksi-bahkan semifiksi ambigu yang berawal dari kejadian nyata. 

Septiawan Santana K. 2002. Jurnalisme Sastra.
Fred Fedler. 1978. An introduction to Mass Media.




Monday 2 April 2012

One Direction & Justin Bieber LOL-Cover - Masketta Fall








Hahaha, that video above is so much lol. When you get bored, just check it, y'll happy again! Lalala~

Sunday 1 April 2012

untitle

/1/
bisa jawab pertanyaanku, mengapa justru kau yang aku bayangkan dalam hingar-bingar kesunyian malamku? apakah juga aku yang kau sebut namanya dalam pesta pora ruang batinmu?
/2/
serupa dingin yang aku rasakan. bahkan dalam balutan peluk mesramu, yang sudah kau persiapkan masak-masak jauh sebelum sempat aku menenggelamkan kasihku pada sosokmu.
/3/
aku menghargai tiap usahamu menentramkan hatiku, di sela-sela liarnya pikiranku, yang tak henti berlarian, ibarat kelinci kesurupan mencari mangsa musang. garang, dalam keberadaan sosok hilang yang datang.
/4/
"aku hanya pergi sebentar, sayang" katamu. katamu yang kau sampaikan lewat semburat teduh kesedihan. katamu dalam kekelaman yang hampir menjelma menjadi seribu wajah medusa. apa, ataukah hanya aku yang cukup bergelut dengan kegilaan hingga salah mengartikan katamu?
/5/
aku andaikan kita selalu memandang langit yang sama, senja perut naga yang serupa, yang mungkin sedikit terbungkus awan-awan yang berbeda. jadi, kadang aku memang menitip selilit rindu lewat angin-angin tak tahu diri yang melintas menyibak rambutku. bukan maksudku membagi kesedihan denganmu, aku hanya ingin menyajikan ketabahan. asal kau tahu.
/6/
tenang, aku tidak akan mati merana dalam penantian terlalu panjang, sementara kau ku kirimi hembusan ketegaran. aku akan menunggu selama yang diperlukan. selama lilitan rindu ini masih bisa berkompromi dengan hati. selama kau menepis semua keluh peluhmu dan aku merajut benang-benang asa yang masih sanggup tertaut. aku akan berbahagia, mengarak angan di sela jarak, yang entah akan kau sambut atau ku sambit sendiri pada akhirnya.
/7/
kasih, akan ku titip doa pada burung layang-layang. yang meliuk cantik di sela sepoi angin berselimut terik. aku akan bersabar, sembari mengajak keangkuhanku berdansa menggantikan posisimu sementara waktu. aku akan tegar, selayaknya pilihanku, mengantarmu terbang dengan kecupan pipi dan senyuman lebar, alih-alih menyuguhkan kepedihan. entah untuk pelukku atau untuk egomu, aku tahu, kau akan pulang.

Wednesday 21 March 2012

Roses and Violets

Roses are red,
Violet are blue.
If you want me to wait,
I'll stay here for you.

Saya kadang memebaca yang-saya-indikasikan-sebagai-pantun dalam bahasa Inggris yang menggunakan kalimat seperti; "Roses are red. Violets are blue." di dua baris pertamanya. Ini ternyata adalah sebuah puisi, tentunya bagi mereka pengguana bahasa Inggris. Saya kurang tahu asal muasal puisi tersebut, dan bagaimana kebiasaan sosial masyarakat mereka yang berkaitan dengan "puisi" tersebut. mungkin ini juga yang lupa saya tanyakan dalam mata kuliah sociolinguistics semester lalu, hahaha
Setahu saya, pantun dalam bahasa Indonesia terdiri dari empat baris dalam satu bait dan bersajak a-b-a-b. Nah, kalau "puisi" berbahasa Inggris, sajak a-b-a-b nya bukan ditandai dengan huruf atau suku kata terakhir dalam setiap barisnya. Melainkan, kesamaan pelafalan pada suku kata terakhirnya. Kurang lebih sih begitu.
Penggunaan kata "Roses are red. Violets are blue." dalam puisi ini lumayan menarik bagi saya. Random mungkin, tetapi kadang saya juga mencoba mengganti dua baris terakhir dengan kata-kata saya sendiri. Menulis puisi seperti itu setidaknya cukup bisa menyamarkan maksud, atau apalah itu. Ceileh.
Barusan saya mecoba browsing di Google, dan waw ternyata banyak yang saya temukan hari ini. Hahaha, bodohnya hal ini tidak saya coba dari dulu -____-
Some for you,

Roses are red,
Violets are blue.
You are always is in my head.
Well... My heart is for you 

Roses are red
Violets are blue
God made me pretty
What the hell happened to you?

Roses are red,
Violets are blue,
I'm not a poet,
But I'll try it for you.

Roses are red,
Violet are blue.
People are equal,
Both Muslim and Jew.

Well, masih banyak sebenarnya. Bisa dicari sendiri kalau mau. Atau boleh mencoba membuatnya sendiri mungkin :D

Tuesday 24 January 2012

Aku Pasti Kembali

Teruntuk kamu,

Kamu, kota kecil yang penuh dengan iringan irama para penghuninya. Kamu masih sering memberikan kesejukan, kehangatan, maupun kenyamanan bagi kami, bahkan saat banyak di antara kami sering berlaku tak tahu diri. Kamu sudah terlalu banyak menyimpan rahasia kami, cerita kami, lukisan abstrak hidup kami di banyak lorong tersembunyi. Kamu selalu terdiam, meski mengetahui lebih banyak dari kami. Kamu menyimpan semua rasa frustasi, haru biru, sedu sedan, keceriaan pelangi, kegembiraan bawang, dan juga ah-ih-uh-eh kami yang sudah tak mampu lagi tergambar. Ah, mungkin di antara diammu, kamu tidak peduli, dan kami pun pura-pura mengerti.
Coba lihat bangunan-bangunan tua hampir roboh itu, yang masih saja kamu berikan pesonamu agar masih sering dikunjungi. Coba lihat para manusia berisik yang menawarkan harta mereka di sepanjang jalanan itu, yang masih saja kamu beri tempat bernaung. Atau coba lihat suasana di bawah bukit itu, yang sudah tersulap menjadi tempat mengerikan penuh keindahan saat senja sore mulai datang. Coba rasakan kebahagiaan para nelayan di sepanjang pesisirmu, untuk semua tangisan ikan, deru ombak, aroma laut, dan angin yang menusuk-nusuk. Ah!
Untuk sebuah kota kecil yang penuh dengan daya magis rahasiamu, kamu favoritku. Aku, aku adalah satu di antara ‘kami”, penghunimu yang tak tahu diri. Nantinya, jika terpaksa aku harus pergi dan tinggal di kota lain, entah di belahan bumi sebelah mana pun, di pulau mana pun, atau di negara mana pun, aku pasti kembali kepadamu; menengokmu, atau hanya sekedar bernostalgia dengan semua aroma di sudut-sudut tempatmu.
Aku pasti akan merindukan saat-saat mengamati orang-orang di setiap pemberhentian lampu merahmu, suara kereta malam yang kadang terdengar sampai ke kamarku, atau pasir putih yang pasti menelanjangi kaki-kaki mungilku meski harus menempuh puluhan kilometer di salah satu bagian kerajaanmu.
Ah Jogja, kota tercintaku, aku menulis surat ini seakan aku hendak meninggalkanmu ya? Hmm, iya mungkin, iya pasti, tapi suati hari nanti. Aku akan meninggalkanmu saat aku sudah menyelesaikan studiku, atau saat aku sudah tidak hanya memimpikan impianku dan harus meraih dan memperjuangkan impianku, atau bahkan saat aku yang dengan setia akan mengikuti dan mendampingi suami masa depanku, di kota lain. Tetapi jangan khawatir, seperti janjiku, aku pasti kembali. Pasti.

Aku, salah satu penghunimu.

Saturday 7 January 2012

allergic oh allergic

hallo, long time no write!
hahaha, maaf selama dua bulan kemarin banyak acara, sedang sibuk dunia akhirat, dan lagi males banget nulis! aku kan masih moody, hahaha :) *bangga* *gak penting*
okay, sebenernya ini (masih) rada gak penting buat di post kan, tapi hari ini daripada gak ada kerjaan (yang sedikit bermanfaat) mari kita menulis, lalalala~
beberapa hari yang lalu, ada perayaan tahun baru..
oh iya! happy new year!! -interupsi, hihi
bukan tentang tahun baru yang mau aku tulis. but what behind it, haha sama apa beda sih? >.<
malam tahun baru kemarin adalah malam tahun baru yang sedikit absurd. ha, lebai. gak ada acara ke luar kota seperti malam malam tahun baru sebelumnya. jadi, bertahanlah manusia ini di Jogja, dengan tidak banyak pilihan tempat untuk dikunjungi. atau aku aja ya yang udik gak tau spot spot yang hore? LOL
aku akhirnya pergi ke Area Nol Kilometer, disana tiap tahun baru ada perayaan tahun baru pake kembang api! hoaa, pulang dari sana sekitar jam dua pagi. udara panas, ralat: panaaas! sisa berjubel dengan ratusan manusia lain yang sama-sama tidak tahu dirinya denganku yang hobi dorong dan senggol sana sini. sampai di rumah buru-buru tepar, tidur sampai siang, sekitar jam sepuluh. bangun tidur, langsung disambut dengan teriknya matahari dan omelan meme (panggilan untuk Ibu) yang lebih terdengar seperti lagu. ya, lagu sumbang yang kadang membuat rindu, halah :)
cuaca di Jogja lagi gak hore. karena lepas jam dua siang langsung hujan deres disini. aku baru sempet mandi jam tujuh malam. *hahaha! dingin banget, dan kalian tau apa?? seluruh badan mendadak muncul bentol-bentol merah mengerikan. selama sekitar lima detik sih aku mikir kalo aku lagi kena malaria. dan sedetik berikutnya aku sadar. dem, aku kena alergi! ya, alergi udara dingin bok.
aku memang punya beberapa alergi; alergi udang, alergi debu, alergi dingin, alergi gondes, dan alergi mendes. oh plis, semuanya bisa dihindari, kecuali ya si udara dingin ini. sial kan, kalo tiap perubahan cuaca yang mendadak ditambah kondisi badan lagi gak fit, bakal berujung ke alergi. tanggal dua alergi tambah parah, padahal tiap enam jam sudah telen obat yang judulnya ctm. haha akhirnya aku ke dokter. sama si dokter diberi bebrapa tablet cantik, dan sejenis bedak. oke nurut deh yang penting sembuh. tapi obatnya gak mempan, hoaa makin frustasi aku curhat ke beberapa temen. salah satu temen nyuruh aku minum air kelapa muda. haha, apa hubungannya? walo sedikit gak percaya, akhirnya aku bilang ke meme. meme buru nyari kelapa muda, airnya dicampur sama beberapa biji cengkeh selama kurang lebih 30 menit, baru diminum. rasanya? gak enak! jauuuh lebih enak es klamud, you know. menu minuman itu aku minum selama tiga hari. viola! ajaibnya alerginya berkurang dan sekarang sudah sembuuuh. hahaha! bekas bentol, terutama yang di jari jari tangan sih emang gak bisa hilang sekejab. at least, paha, punggung, dan pipi ini gak gatel lagi. uh, alergi, jauh jauh deh! haha
alergi udara dingin, ato istilah kerennya allergic rhinitis, ini memang sangat merepotkan, terutama untuk kita yang hobi jelajah dan punya kondisi badan yang gak konstan. waktu pelajaran biologi beberapa tahun yang lalu, seingatku sih, pernah dijelaskan kalo alergi ato hipersensetif sendiri adalah bentuk kegagalan sistem kekebalan tubuh kita. gejala alergi sendiri mirip dengan flu; bersin-bersin, hidung tersumbat, tenggorokan gatal, mata berair, dan pilek. kalo kita positif alergi dingi, tenggorokan kita gak cuma gatal, tapi juga terasa sakit. kita juga gak bisa dengan ajaibnya sembuh, seperti sedang menderita gejala flu, kalo kita masih terpapar udara dingin. selain itu, alergi udara dingin juga menimbulkan bentol-bentol pada kulit. aku lupa istilah kerennya apa, tapi boleh dibilang sejenis biduran, hehe.

sebagai penderita alergi dingin, aku mau share beberapa tip menghindari alergi. (walo sebenernya aku sendiri juga masih lupa diri urusan tips ini)
  • jauh jauh dari si alergen, ato udara dingin itu sendiri. misal lagi ke daerah dingin, pake pakaian tebel, kumur-kumur pake air hangat. pake syal, agar tenggorokan tetap hangat. kalo gak ada? ya sudah..
  • yang alerginya disertai biduran, oles bedak dingin atau lotion yang punya bahan calamine dan anti histamin. dokter aku bilangnya begitu sih.
  • mandi dan minum lah hanya dengan air hangat. es campur, es krim, es klamud? lupakan dulu deh..
  • kalau mau obat tradisional, pake air kelapa muda ditambah beberapa biji cengkeh juga boleh. inget, cengkehnya gak perlu ikutan ditelen loh!
  • dan nasehat klasik yang biasa keluar dari si pacar (kalo punya), "istirahatlah yang cukup!"

hahaha, sekian. aku sudah capek menulis. see you in another page.