Thursday 29 September 2016

Book Review: The Girl on The Train by Paula Hawkins




Judul buku : The Girl on The Train

Penulis       : Paula Hawkins


Buku yang ditulis oleh mantan jurnalis kelahiran Zimbabwe ini merupakan sebuah thriller psikologis yang cukup unik. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari beberapa tokoh, sebenarnya metode penulisan fiksi seperti ini sudah saya kenal sejak pertama membaca buku karya Nicole Krauss berjudul The History of Love beberapa tahun yang lalu. Setiap tokoh memiliki sudut pandang terfokus dan subyektif. Tentu saja pembaca harus menempelkan sendiri potongan-potongan cerita yang kepastiannya tidak bisa diyakini 100%.
Dalam buku yang telah mendapat salah satu penghargaan dari situs Goodreads pada tahun 2015 ini, Hawkins menampilkan tiga tokoh wanita yaitu Rachel; si pemabuk yang terkadang hilang kendali dan kehilangan memorinya, Megan; wanita misterius yang selalu dilihat Rachel melalui jendela kereta, dan Anna; istri baru dari mantan suami Rachel yang tinggal tidak jauh dari bekas rumah Megan. Ketiganya, meskipun pada awalnya sulit dipercaya, memiliki ujung dari benang merah yang harus disambung sendiri oleh pembaca yang memutuskan untuk membuka halaman pertama buku ini.

Sebenarnya, saya tidak terlalu menyukai cerita thriller psikologis atau misteri semacam ini. Buku The Girl on The Train saya pinjam dari seorang teman. Dia bilang, ia bisa membacanya hanya dalam waktu dua hari! Tempo alurnya tentu sangat cepat dan tidak stagnan, pikir saya saat itu. Kenyataannya, saya baru bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang lebih dua bulan. Saya hanya mampu membacanya di sela-sela waktu luang saja. 

Tidak terduga! Ya, akhir cerita fiksi ini berakhir dengan kesimpulan yang benar-benar jauh dari yang dibayangkan sebelumnya. Tokoh utama dalam cerita ini, seharusnya si Rachel pemabuk yang telah ditingalkan suaminya demi wanita lain yang lebih menarik, tetapi bukan demikian. Justru Megan yang terlihat baik-baik sajalah, pemicu keributan dan misteri panjang tidak berkesudahan dalam cerita ini.
Rachel dikenal sebagai seorang pemabuk, setiap hari menegak alkohol sebagai pelariannya akan kekecewaan terhadap hidupnya yang mendadak berantakan. Dia dicerai suami tercintanya, Tom, yang lebih memilih berselingkuh dengan Anna hingga menikah dan memiliki bayi mungil bernama Evy. Rachel yang gamang harus keluar dari rumahnya sendiri, rumah nomor 23 di kawasan suburn London, yang terletak di pinggir rel kereta. Setiap pagi dan petang, Rachel masih bisa melihat bekas rumahnya melalui jendela kereta yang membawanya menuju London untuk bekerja atau pura-pura bekerja.

Tidak jauh dari bekas rumahnya yang kini ditinggal Tom dengan istri barunya, ada sebuah rumah yang ditinggali oleh sepasang muda yang kelihatannya memiliki kehidupan rumah tangga yang sempurna. Si pasangan yang ia namai dengan Janet dan Jason ini kemudian diketahui bermana Megan dan Scott. Kereta Rachel kerap terhenti di dekat rumah nomer 15 milik Megan dan Scott, hanya selama beberapa detik atau menit karenan gangguan sinyal. Setiap hari, Rachel berangan-angan, mengarang sendiri cerita bahagia mengenai pasangan ini, hingga akhirnya ia melihat sesuatu yang membuatnya berubah mengenai pasangan tersebut. Janet, atau sebenarnya Megan, mencium seorang lelaki yang diyakini Rachel bukanlah Jason atau Scott.

Beberapa hari setelah itu, kabar mengenai Megan yang hilang tersebar. Entah mengapa Rachel mempunyai beban untuk menyampaikan sesuatu yang pernah dilihatnya pada Scott Hipwell. Ia tahu bahwa tuduhan akan hilangnya Megan juga akan mengarah pada Scott, lelaki malang yang bahkan tidak tahu jika isrinya selingkuh. Memori dan rasa sakit akan sebuah perselingkuhan yang pernah dialaminya mendasari tindakan-tidakan Rachel selanjutnya, menyusup ke dalam kasus dan cerita hilangnya  Megan. 

Yang harus dipecahkan Rachel adalah dalang dari pembunuh Megan. Apakah Scott atau selingkuhan Megan yang masih misterius?

***

Dalam skala 1-10, secara personal saya memberi nilai 7.5 untuk buku ini. Atas kesuksesan The Girl on The Train dalam meraih minat pasaran, Dreamworks Studio kemudian menggarap filmnya. Yap! Awal bulan Oktober 2016 mendatang, filmnya akan dirilis pertama di Amerika Serikat. Apakah nanti hasil visualnya akan semenarik cerita Gone Girl? Semoga. :)


Wednesday 13 April 2016

Internship

A word, that suddenly came out of mind mind this afternoon is "internship". Yes, but I don't really know why.

As I remembered, I did internship twice. To act like a teacher for elementary school students for three months and also front desk agent in a three star hotel for three months too. It's funny how I chose that two internships when now I end up being an editor of a lifestyle magazine in this paradise island. I'm lucky, maybe? More than that..

Wait, so what's the point now? To be honest, I am in my boredom now. I just stared on my intern at my office and knew how she felt too. Don't force me for not giving her too much jobs, well.. it's kinda difficult to be explained, um.. okay forget then.

I just want to smile, remembering the good and bad things I did in my past.

Internship 1: English Teacher

I was a tutor, English tutor. I started to be a tutor, joined a education institution in my 4th semester. To early? Well, I was that 'smart' enough to teach children how to do proper English that time. Then.. when almost all of my friend chose to do an internship in Tourist Information Center, I chose to do what I am expert in; teaching. I can make syllabus, I can stand in front of the class being a center of attention, I can make them stare at me. I don't know why I was that awesome. Hahaha.

Three months. Well, not really three months. I taught three class a week for three months in an elementary school near Palace complex in my hometown, Yogyakarta. It was an awesome experience. Even now, I can still hear their voice greeting my name; "Good morning, Miss Tiara!" God, it seems like I miss to be the center of attention and receive a lot of attention now. Ups!

Internship 2: Front Desk Agent

I thought hospitality industry was a big industry that keeps growing anyway, and yes it is. That's the only reason why I let myself to 'try' and 'feel' the hospitality atmosphere. I am good in English, at least compared to my friends that time. I can speak and listen well, so humble and nice to everyone, then the hotel where I put my CV let me join in Front Office Department.

It was one of the hardest three months in my university life. I learnt all the stuffs from filling document, online and phone reservation, hotel system, too many stuffs! Regret? Not at all. At least I know how it feels to work in hospitality industry, so then later on when I want to come back I know how to handle it well. In the first two weeks I wanted to give up, but there are two people who keeps me stay. One of them is myself, who keeps telling myself that I can do anything, to finish what I already started. Well, I guess I learn how to terribly survive from my second internship then. How, naif.


Now, I am not an intern anymore. I met some interns under my supervise in this office since a year ago; Annelies from Groningen, Saras and Karin from Bandung, Amy from Utrecht, and now Nikki also from Groningen. I hope I gave them enough good things to learn for their lives.

*Backsound 7 Years by Luke Graham* lol


Saturday 26 March 2016

Malam memekat, anak kelinci keluar berlarian sambil membawa telur-telur angsa. Bulan malu-malu menampakkan sisa sinarnya. Ia sudah kelelahan setelah purnama kadasa.

Aku masih saja menulis daftar belanja, menimang-nimang apa saja yang harus aku bawa. Hatiku, atau keyakinanku yang kian berada dalam batas tipis nestapa. Keluh hanya akan menjadi beban selanjutnya jika tidak ditanggapi dengan bijaksana. Aku masih percaya, doa sudah berhasil melipat-lipat jarak yang sesungguhnya ada di antara aku dan dia. Barangkali baru kali ini aku menulis tentangnya, meskipun setiap detik potongan wajahnya terus saja berseliweran mengganggu konsentrasi kerja. Yang tentu, tak perlu dikutuk barang sedikit saja.

Pernah aku tulis surat untuknya, setelah adu prasangka yang tidak hanya menyiksa tapi juga menggeser setiap kata iya. Entah sejak kapan aku mulai memperhatikannya. Bisa jadi dulu sekali, bahkan sebelum sempat bersua. Entah sejak kapan juga Tuhan merencanakan kebersamaan aku dan dia. Bisakah selamanya? Ya, seperti sempurna, tidak ada rumus bisa untuk selamanya. Tapi paling tidak, sampai habis masa kita di dunia.

Pernah terangkum kata, jika berdampingan dengan penulis dan ia tidak pernah menulis tentangmu, maka bisa jadi tidak benar-benar cinta. Ah, si penulis sudah melantur saja.

Ada penat yang enggan pergi dari meja kerja. Ada rindu yang tertahan di satu tombol saja. Aku hanya bisa berdoa, hingga nanti ia sudi membaca setiap halaman yang belum sempat aku tulis tentangnya. Hingga terhapus sudah tanda tanya. Hingga mengerti juga ia dengan nanti yang datang terbata-bata.

Ingin mengucur tangis, tapi tertahan saja di pelupuk mata. Barangkali aku yang terlalu jahat mengulur waktu berlama-lama. Atau barangkali waktu yang jahat sudah mempertemukan kita. Tiba-tiba jemari tidak ingin berhenti menari dan berbisik tentangnya. Barangkali rindu sedang ranum-ranumnya, tapi aku bisa apa? Masih harus menunggu tiga puluh tiga hari sebelum tiba pertemuan selanjutnya.


Thursday 14 January 2016

Awal tahun yang was-was

Selamat tahun baru!

Saya harap-harap cemas juga memasuki tahun 2016 ini. Saya menghabiskan akhir tahun dengan liburan singkat bersama adik permpuan saya yang kebetulan datang berkunjung di sela deadline akhir tahun yang sedikit mundur.

Saya tidak melakukan kegiatan yang terlalu penting dalam detik-detik pergantian tahun kecuali berada di kafe dengan teman-teman (yang lama dan baru-baru saja dikenal) sambil mendengarkan beberapa di antaranya memainkan musik yang tidak sedikitpun saya mengerti. Saya ingin melarikan diri ke pantai, batin saya.

Seusai huru-hara, bunyi terompet, peluk agak bahagia, ucapan tahun baru, dan tetek bengeknya, saya dan dua teman wanita memutuskan untuk menyusuri kawasan Seminyak, mengarah ke sebuah klub malam hip yang ramai dikunjungi orang lokal maupun bule dari berbagai kalangan.

Menit pertama, kami masih bercanda-canda. Salah satu teman wanita yang baru datang dari KL mengajak saya membeli minum. Kami mendekat ke arah meja kasir untuk memesan. Dia menyodori saya bir bintang, bir yang rasanya tidak terlalu saya suka. Menit selanjutnya, kami dihampiri dua bule yang menjabat tangannya dan kemudian menculiknya.

Saya dan satu teman wanita yang tersisa tidak paham harus berbuat apa. Kami memutuskan untuk tetap menikmati lantunan musik DJ yang disetel keras-keras, setiap nadanya memadati klub yang sesak dengan lautan manusia ini. Setengah jam beralalu dan saya mulai bosan. Antara sadar dan tidak, saya sempat tersentak dan terdiam dalam beberapa detik memandang sekeliling saya. Wajah-wajah semburat bahagia, gelak tawa, atau itu hanya topeng yang dipermak instan karena pengaruh alkohol yang mereka tegak saja?

Saya mengangkat botol minuman yang saya bawa. Teringat seminggu sebelumnya, saya mampir ke pabrik wine atas sebuah undangan dan mencicip beberapa jenis wine yang tersedia. Seingat saya, saya berjanji jika itulah wine terakhir yang akan saya tegak. Saya lupa bahwa doa atau niatan itu harus lebih spesifik, harus dengan kesadaran sepenuhnya. Mana mau juga Tuhan mendengar doa umatnya yang seperempat melayang karena pengaruh minuman dengan kadar alkohol 12 persen itu?

Saya berada di antara kerumunan para penikmat malam. Saya tiba-tiba merasa ngeri sendiri. Ada ketakutan yang menyeruak masuk, saya takut jika ada bom meledak dan serpihannya mengenai salah satu bagian tubuh saya di sana. Entah dari mana pikiran ini muncul. Barangkali saya sangat lelah dan sedikit kecewa. Lelah dengan apa yang saya kerjakan di akhir tahun kemarin, kecewa karena lagi-lagi saya tidak bisa menghabiskan malam tahun baru dengan orang yang spesial bagi saya.

Saya menarik teman saya, mengatakan padanya bahwa saya bosan, mari kita pulang. Seusai menghubungi teman kami yang raib, berkabar ala kadarnya sambil terus mencari keberadaannya di tengah lautan manusia ini, kami menyerah dan pulang. Beruntungnya, teman saya tadi malah sudah berada di rumah.

*Pagi ini saya sedikit terkejut mendengar berita mengenai bom yang ada di kawasan Thamrin, Jakarta. Empat orang pelaku sudah ditangkap di sore harinya, namun tetap saja yang terjadi menyisakan trauma dan luka. Sejauh yang saya tahu, ada tujuh korban meninggal. Sebagai pendatang yang tinggal di kota pariwisata seperti Bali, kejadian ini cukup membuat ngeri. Anak-anak media televisi (sebagian teman saya juga) menggemborkan isu ini itu terkait pengeboman ini. Ah, semoga semuanya membaik dengan segera. Doa saya untuk Jakarta dan seluruh pelosok Indonesia.

**Sejujurnya, saya tidak menyangka ini akan menjadi postingan pertama saya di tahun 2016

Tiara