Thursday 31 January 2013

Hey Kalian!


Untuk kalian, hadiah dari Tuhan yang tak akan tergantikan @nchaga, @namonz, @bigbrobo,

Aku sedikit canggung menulis surat (cinta) ini dalam bahasa Indonesia (kepada kalian). Ingatkah kalian tentang surat permintaan maaf atas pengabaianku berbulan-bulan kala hatiku sedang patah-patahnya, bertahun yang lalu? Aku menulis panjang (sekali) dalam bahasa Inggris, berharap agar kalian tidak terlalu menganggapku menulis sok manis. Hahaha, maaf teman-teman, aku sudah mencoba menulis ini dalam bahasa sehari-hari kita yang lebih berisik dari biasanya, tapi (sepertinya) gagal :p

Abaikan saja cara menulisku yang sok puitis ini ya. Cukup baca saja. Hahaha.

Begini, selama ini aku selalu berusaha menjadi teman yang baik untuk kalian. Sebagai penebusan dosa atas ketidakpedulianku dulu saat aku sedang egois-egoisnya meratapi kemalanganku sendirian. Tidak hanya itu, tapi berteman dengan kalian sangatlah menyenangkan. Terimakasih karena selama ini sudah bertahan dengan aku yang skeptisan dan kata orang pendiam. Hanya kalian yang tahu kalau aku tidak seperti kata orang kebanyakan.

Halo Icha, kita sudah berteman lebih dari sepuluh tahun lho! Bukan waktu yang sebentar ya ternyata. Dulu kita saling berkenalan semasa masih berseragam putih biru. Kamu sudah tahu kalau aku hobi telatan dari dulu. Kamu sudah kenal kebiasaan anehku yang ini itu dari dulu. Bagaimana perasaanmu? Hihihi. Terimakasih ya, aku ingat sekali, aku pertama menangis di depan temanku kala itu; di depan kamu. Merasa bodoh rasanya, sekaligus merasa menjadi seutuhnya manusia setidaknya. Waktu menulis ini, kok mataku rasanya kelilipan debu ya.

Terimakasih sudah menjadi satu di antara beberapa orang yang masih saling menyemangati. Kamu teman yang baik, sahabat yang baik. Mau mendengarkan dan didengarkan. Hey! Setelah Bali dan Singapura, mungkin kita masih punya banyak tempat untuk dijelajahi bersama. Atau kalau pun tidak dijelajahi bersama, kita masih bisa saling mengingatkan tentang mimpi kita yang sama, keliling dunia. :D

Halo Nana! Maaf ya kalau aku yang unyu ini suka sok sibuk sendiri. Terimakasih karena kamu sering sekali mengingatkanku untuk makan. Ih pacarku (dulu) saja jarang. Hihihi. Aku tahu kalau kamu selalu prihatin dengan bentuk tubuhku yang dikutuk langsing ini. Aku baik-baik saja kok. Sekarang malah berat badanku terus bertambah tiap bulan. Entahlah.

Aku senang karena kamu selalu memaklumi kesibukanku yang kadang keterlaluan, dan masih mau benar-benar mencuri waktu di antaranya meski hanya untuk makan siang. Terimakasih sudah membagi cerita-ceritamu denganku. Jangan bosan bercerita ya. Dan jangan bosan aku ajak menyantap menu yang itu-itu saja. Oiya satu lagi, jangan pernah bilang tidak sebelum kamu mencoba. :D

Halo Runi, agaknya baru tadi kita bertemu yah. Hihihi, kita paling jarang bertemu sepertinya. Mungkin setelah menyelesaikan tugas akhirku aku akan lebih banyak membagi waktu untukmu juga. Akan merusuhmu agaknya. Aku senang, paling tidak kalau aku ingin mengobrol sastra dengan sahabatku, aku punya kamu. Aku sendiri tidak menyangka akan berkuliah di jurusan yang sama denganmu, padahal tiga tahunku di SMA sudah ku habiskan demi memikirkan fisika, kimia, dan matematika. Kita pernah menyesal pada pilihan ini bersama, tapi sekarang untuk apa. Sudah kita jalani, sudah seharusnya kita cintai. Ayo semangat! Setidaknya kita masih bisa berkuliah di jurusan yang sepertinya kita suka lagi nantinya. Yah, siapa tahu. :D

Masih ingat pesan yang kamu kirim dulu, tentang pemikiran tiba-tibamu yang ingin tinggal di luar negeri yang itu? Iya, mari kita berusaha meraih apapun impian kita. Kamu juga suka menulis, teruskan lah apa yang sudah kamu mulai dulu. Aku tidak keberatan membaca dan mengomentari skrip awal novelmu lagi. Mungkin nanti, entah kapan, akan aku tunjukkan juga milikku.

Hei kalian.. kalau kalian butuh didengarkan, jangan lupa ada telingaku yang selalu mau menampung segala keluhan. Kalau kalian butuh saran, jangan lupa ada suaraku yang selalu mau mengatakan kalimat-kalimat yang kaliah butuhkan. Kalau kalian sedang kesusahan, jangan lupa ada aku dan berbagilah. Aku tidak mau menjadi sahabat yang hanya dekat saat senang sedang melekat. Aku mau selalu ada di sisi kalian juga saat sedang dibutuhkan. Kalau kalian butuh pelukan, jangan lupa ada aku yang tipis ini yang selalu rela menjadi seolah semakin tipis demi memeluk kalian. *meski dalam kenyataannya kita jarang berpelukan kan* :) 

Kalau kalian butuh aku, tinggal bilang. Kalau sewaktu kalian memintanya dan aku sedang tidak bisa, tolong maklumi lah. Pasti akan aku ganti lain waktu dengan durasi hitungan dua kali. Satu lagi, kalau sekiranya nanti aku salah melangkah, tolong diingatkan, tolong ditampar biar sadar. Ayo, semangat yah demi apapun yang sedang menunggu kita di depan. Hmm, termasuk toga barangkali. :D

Aku bahagia memiliki kalian. Terimakasih telah menjadi sahabat yang baik bagiku. Terimakasih telah menjadi hadiah dari Tuhan yang tak tergantikan. Pokoknya aku sayang kalian. Aduh jadi malu ih waktu baca tulisan sendiri. Sudah ah, aku mau kabur.

Salam peluuuuk,

@tiaratirr


Wednesday 30 January 2013

Fisika Dan Sastra


Kepada Si Fisika,

Atas nama fisika, kau mengatakan kau bahagia saat medan magnetmu dan aku bertemu di suatu titik berjarak nol berskala apa saja. Atas nama fisika, kau memaksaku menghitung massa hati yang berdebar saat tangan kita bertautan. Atas nama fisika, kau membuatku percaya bahwa E bukan hanya sama dengan mc2, melainkan juga kau dan aku yang tanpa sekat.

Kau sudah banyak mengatasnamakan fisika demi cinta kita. Cinta kita? Mungkin kini bisa ku ralat dengan kata cintamu yang buta.

Kau sudah dibutakan dengan hitungan matematika dalam fisikamu yang gila. Seharusnya kau tahu kalau cintaku dulu bernama tak terhingga, sama seperti angka nol dibagi bilangan apapun yang kau kagumi dengan sangat. Iya, rumus dasar matematika yang selalu mengawali setiap kecintaanmu pada fisika. Kau pernah berkata bahwa cintamu akan bertahan lama, selama jarak bumi dan matahari dengan ukuran kecepatan cahaya yang tak terhitung bilangannya. Aku pun pernah percaya, selayaknya aku mengawasi stellarium menanti rasi bintang kejora menampakkan batang hidungnya.

Aku pernah meredakan egoku untuk sedikit memahami semua rumus fisikamu yang membingungkan. Logikamu mengajariku berpikir bahwa cinta adalah saat ketinggian hatiku selalu jatuh di hadapan gravitasi pesonamu. Dan memang benar, tidak dapat ku sangkal walau awalnya terasa tak masuk akal.

Atas nama sastra, aku berkata bahwa aku bahagia saat kau dan aku mempuisikan perasaan tanpa sela. Atas nama sastra, aku memaksamu memaknai peribahasa yang tiba-tiba terkata kala cinta sedang ranum-ranumnya. Atas nama sastra, aku membuatmu percaya bahwa kita akan selalu bersama meski perbedaan selalu melekat tak hanya saat saling bergenggaman dan dekat.

Aku juga sudah banyak mengatasnamakan sastra demi cinta kita. Baiklah, aku ralat juga; cinta aku yang gila.

Aku selalu gila dengan perasaan mabuk kepayang bagaikan sehabis menelan buku-buku Kahlil Gibran. Seharusnya aku percaya perkataanmu tentang kegilaanku pada sastra lah yang nanti akan menyulitkanku pada akhirnya. Aku pernah berdusta bahwa aku akan selalu mencintaimu tanpa syarat, seperti saat aku sedang menyelam dalam tumpukan buku dan tak kembali bertahun-tahun lamanya, meski sebelumnya telah ku baca semua akibat. Aku pun selalu ingin membuatmu percaya, bahwa dustaku ini akan menjadi nyata hingga habis masanya.

Kau pun pernah memaklumi tingkahku dan melupakan hitunganmu demi belajar kata-kata mutiara bersamaku. Apakah menyenangkan pernah saling melempar celotehan yang sebelumnya bahkan terasa asing bagimu? Katakan, paksaku kala itu.

Atas nama cinta, kita membiarkan fisika dan sastra berbagi cerita. Atas nama cinta, kita mengecewakan mereka dengan hitungan dan perkataan yang seharusnya tak pernah ada. Atas nama cinta, kita mengusik hitungan yang sengaja dipermasalahkan dan bahasan yang awalnya tabu diperbincangkan. Ternyata kita tidak lebih dari sepasang kekasih yang menangis bersama demi mempertahankan kecintaan dan kebutaan kita masing-masing pada fisika dan sastra.

Aku tidak mengapa sudah menjadi yang lalu bagimu. Seperti kau yang tak pernah mengapa pernah melukai hatiku dengan hitunganmu. Setahuku, dari dulu cinta tidak hanya satu, tapi selalu dua, bukan tiga. Cinta tidak untuk diri sendiri, pun tak pantas terbagi. Kalau pun aku harus mencintai fisika yang tidak mencintai sastra sepertiku, pasti bukan dirimu. Kau pecinta fisika yang gagal memahami hitungan matematika dasar kelas satu. Ternyata fisika dan sastra tidak sama dengan kita. Terimakasih sudah mengajari sastra menilai massa benda. Setidaknya, aku pernah mencintaimu. Pernah.

Si Sastra

Tuesday 29 January 2013

Hey T, I Miss You!


Kata orang, aku gila karena punya cita-cita keliling dunia. Kata orang, aku bisa buta karena punya keinginan terlalu banyak melihat ke luar sana. Kata orang, aku naif saat aku mulai banyak menulis di atas kertas tentang impianku disana. Tidak kah mereka tahu kalau itu doa? Silakan saja menertawai doa-doaku yang aku lagukan sepanjang hidupku, aku tidak peduli. Silakan saja mencemoohku untuk semua harapan yang terlalu omong kosong kalau menurutmu, aku tidak peduli.

Aku juga ingin keliling Indonesia, tapi aku lebih ingin keliling dunia. Dunia terlihat sangat besar memang, tapi tidak pernah sebesar Bima Sakti, tidak pernah sebesar ribuan galaksi-galaksi. Jadi untuk apa menunggu lagi? Sudah banyak orang yang membuatku iri (sekaligus bersemangat) karena kesempatan mereka yang lebih dulu bepergian kesini-sana. Mereka terlihat bahagia.

Hey T, aku dulu tidak suka padamu. Aku sendiri heran mengapa hampir setiap teman dekatku ingin menginjakkan kaki di tanahmu. Di masa kuliahnya, seorang temanku bahkan mempelajari bahasamu. Aku dulu tidak suka lagu yang diputar adikku dalam bahasamu. Selalu berisik kalau menurutku. Aku dulu tidak suka makananmu, bagiku makanan Italia lebih akan memanjakan lidahku. Setidaknya, pasti lebih asin daripada banyak makananmu yang plain. Aku dulu tidak suka hampir semua tentangmu.

Desember tahun lalu, aku berkesempatan mengunjungimu. Di antara kompetisi yang aku ikuti, entah kenapa Tuhan malah memenangkanmu untukku. Mungkin Tuhan tidak suka caraku tidak menyukaimu, jadi ditamparnya aku. Aku memang harus berjuang lagi di tanahmu, menjadi yang tebaik diantara yang terbaik. Kalimat yang hampir membuatku frustasi tapi entah mengapa aku bisa juga menikmati segala sensasi. Aku dulu berjuang dengan banyak manusia-manusia baru yang terlihat jauh lebih ambisius dariku. Kali ini benar kata orang, jarak antara kamu dan mimpimu hanyalah orang-orang yang lebih ambisius itu. Jadi apapun yang kalian hadapi, berusahalah tanpa lelah, saranku.

Di tanahmu, aku mengenal banyak orang baru. Mereka menjadi teman berdiskusiku, teman bermainku, dan teman bersenang-senangku, pun pesaing untukku kala itu. Ah kamu, kamu sudah mengajariku cara beradaptasi yang baru. Terimakasih.

Di tanahmu, aku melihat dunia yang baru. Masa depan yang dirancang orang-orangmu yang sangat ambisius itu, pun beberapa hal yang ku anggap mainstream yang tak bisa ku temui di sekitarku. Setidaknya, kamu sudah mengajariku terus berpikir tanpa jemu. Terimakasih.

Di tanahmu, aku pernah melihat seorang tuna netra berjalan sendirian di stasiun kereta yang menurutku paling sibuk kala malam. Aku rasa dia tidak terlalu mengeluh dengan begitu bisingnya langkah kaki ratusan manusia yang didengarnya seharian. Hebatnya, dia bisa bertahan di tanahmu yang kata orang kejam. Iya, itu menjadi pelajaran yang ku simpan. Ini juga terimakasih.

Aku sadar, aku menikmati setiap momen yang aku habiskan di tanahmu; berbincang dengan orang-orang baru tentang budaya dari negeri-negeri mereka, berdiskusi tentang sesuatu yang sebelumnya tidak ku pahami sepenuhnya, menghirup udara musim dinginmu jika berada di luar sana, menikmati design kotamu yang rapi dengan futuristik dan budayanya, melihat orang sibuk berjalan lalu-lalang mengejar kereta malam, mencium aroma harum yang kau sajikan di kedai-kedai makananmu yang dulu tidak pernah ku sangka. Aku beruntung pernah dipertemukan Tuhan denganmu. Mungkin aku harus lebih banyak mendengar kata orang sekarang. Tidak tentang impianku yang mereka tentang, tapi tentang kamu dan kamu-kamu lain yang tadinya tidak mau ku dengar dan ku perhitungkan karena kemalasanku mempelajari hal yang terlihat membosankan. Aku janji untuk tidak mengulangi. Pasti.

Di tanahmu, aku menanam impian baru. Mungkin Holland masih menjadi favoritku, tapi kamu... sejauh ini kamu lah yang paling berkesan yang sudah lancang menampar tidak hanya pipiku, tapi pemikiranku. Terimakasih Tokyo. Sepertinya aku sudah meninggalkan sebagian hatiku di tanahmu. Entah lebih karenamu, atau karena orangmu itu. Ah Tokyo, I miss you.. Kalau aku ternyata tidak bisa datang lagi di akhir bulan depan, tetaplah menungguku. Aku akan sangat senang untuk kembali lagi menikmati setiap sajian yang akan kau hidangkan untukku. Semoga Tuhan tetap mengijinkan.

Tiara

Monday 28 January 2013

Kepada Gibran


Kepada Gibran,

Sudah sejak lama aku ingin menulis surat kepadamu. Kau tahu, aku tidak pernah tidak menyukai puisimu. Puisimu yang ku baca pertama sudah bertahun yang lalu, meski hanya dalam bahasaku. Dan seperti itu pula lah aku menuliskan ini untukmu.

Selain namamu, aku simpan juga nama penyair yang selalu ku puja dari dulu karena kebisaannya menuliskan puisi sederhana dan menyelipkan kata cinta yang terlalu bermakna kalau menurutku. Iya, mungkin aku sok tahu, tapi kali ini percayalah, aku benar-benar jatuh cinta dengan kalimat “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” miliknya. Apa kau mengenalnya, Gibran? Atau kah, dalam tidur panjangmu yang tak tentu kapan habis masanya itu, kau pernah bermimpi didatangi olehnya? Barangkali kalian berbincang tentang hujan, roman, malam, cinta, dan harapan. Di hari-harinya menulis puisi itu, dia mungkin saja juga memujamu Gibran. Sama sepertiku.

Aku sudah membaca surat-suratmu, yang kau kirimkan kepada Ayahmu dan saudara perempuanmu, Miriana. Pun surat-suratmu kepada sahabatmu Amin Guraib dan banyak pula yang lainnya. Tidak semua mampu ku selami dengan ilmuku yang masih sedangkal kolam ikan milikmu memang. Tidak pula bisa ku bayangkan dengan jelas keadaanmu kala itu saat tinta-tintamu berpijak pada lembaran kertas usang yang hendak kau kirimkan pada mereka. Yang aku tahu hanya aku selalu mengulang untuk membacanya, seolah aku tidak pernah lelah belajar menyelam saat aku bahkan tak tahu seperti apa itu berenang. Aku menyukai setiap suratmu kepada May Zaidah yang juga penulis dari negaramu itu. Seperti apa mencintai wanita pemuja sastra tanpa pernah bertemu? Ah, pasti May Zaidah selalu berdebar juga saat menerima surat dengan amplop bertuliskan namamu kala itu. Sudah kah kalian sekarang akhirnya bertemu, Gibran?

Dalam puisimu, kau tuliskan dengan jelas “Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku”. Kau perlu tahu Gibran, aku sudah mengikuti saranmu. Dan memang, walau aku tidak juga tahu apa yang akan aku dapatkan, entah bahagia, entah luka, aku tetap mengikuti saranmu. Aku pernah jatuh cinta. Sekali, dua, kali, tiga kali, dan berkali-kali tanpa ada habisnya. Aku sudah pasrah pada kejatuhanku pada yang mereka sebut dengan cinta. Aku sudah menyerah untuk tidak menentang hati pada segala yang mereka sebut asa. Bukan kah sudah kau tegaskan kalau aku harus berlaku demikian? “Walau ucapannya membuyarkan mimpimu” katamu tanpa ragu.

Aku pernah bahagia karena cinta. Sekali, dua kali, tiga kali dan berkali-kali. Pun aku pernah menangis karenanya. Hingga sekarang air mata sudah tidak berarti lagi jika dibanding sesak nafas dan lagu sumbang penyesalan yang hampir selalu berdendang karena kekecewaan. Aku tidak membenci mereka, seperti aku tidak membenci cinta. Aku juga tidak membencimu karena telah membuatku percaya pada cinta.

Aku masih percaya semua, dari bait pertama hingga terakhir puisi yang kau tulis sewaktu mungkin kau sedang gila-gilanya dikendalikan cinta. Kau benar, dan aku tetap tak bisa mengelaknya.

Dan juga jangan mengira,
Bahwa kau dapat menentukan arah jalannya cinta.
Karena cinta, apabila telah memilihmu.
Dia akan menentukan perjalanan hidupmu..

Baiklah, anggap saja ini surat cinta. Pun surat protes untuk segala kata yang tidak mampu ku protes dari dirimu. Sekali lagi kau benar, dan aku disini akan terus tersadar.

dariku yang masih saja mempercayai cinta

Sunday 27 January 2013

Kesayangan


Untuk segala yang pantas dilabeli dengan kesayangan,

Pertama, terimakasih karena sudah berada di sisiku tanpa mengeluh jemu. Aku baru sadar kalau aku menyayangi kalian, tanpa kalian apalah artinya hidup. Oke, bagian itu sengaja aku dramatisir memang. Bukan untuk membuat kalian senang, hanya sekedar untuk membuatnya terdengar lebih sempurna. Oh, tak apa jika akan banyak orang menganggapku ini pendusta kata, asal kalian tidak pernah percaya.

Surat ini untuk kamu yang selalu menemani hari-hariku, menuntun setiap langkahku, menjadi mata kedua bagiku. Tanpamu aku akan banyak menemui kesulitan yang menyudutkan. Bukankah Tuhan sudah cukup adil dengan memberi pengetahuan pada entah siapa yang pertama menciptakan nenek moyangmu? Hingga akhirnya, saat aku putus asa dengan terlalu banyak detail yang terlewat, kamu juga yang membantuku memperjelasnya, kamu juga yang membuatku tidak mengutuk indraku terlalu lama. Terimakasih untuk kesediaanmu menyempurnakan hariku sebelum waktu tidurku. Aku sudah tidak lagi mau menggantimu dengan mereka yang terlihat jauh lebih indah dibanding dirimu. Ah, mereka hanya menipu. Tentu aku akan lebih setia padamu, sama halnya dengan kamu yang dulu selalu setia menunggu kesadaranku akan betapa pentingnya kamu di hidupku.

Surat ini untuk kamu yang selalu mengantarku kemana pun tujuanku, selarut apa pun aku memintakannya padamu, dan bahkan tak pernah bosan menungguiku berjam-jam di parkiran tanpa protes panjang. Aku tak akan banyak kemana-mana tanpamu. Ibu sering marah jika aku terlalu sering bepergian denganmu, lebih-lebih jika sudah lewat jam pulang yang beliau tentukan. Tapi bukankah kamu sendiri tahu, bagiku, jam malam sama dengan jam Ibu ditambah satu atau kadang dua jam berlalu. Terimakasih Mimo, kamu sudah menjadi bagian hidupku sejak bertahun-tahun yang lalu. Meski kadang kamu merajuk dan terpaksa membuatku kepayahan merayumu, tidak apalah. Aku tetap sayang padamu. Kamu yang paling baik yang pernah aku kenal. Terimakasih untuk kenangan jatuh bangun bersama dan 100 km/jam saat aku sedang ingin menjadi pengendara yang sedikit gila. Itu sudah lama, semoga saja aku tidak tergoda lagi melakukannya. Tolong ingatkan aku ya, terserah bagaimana pun caramu.

Surat ini untuk kamu yang akhir-akhir ini selalu setia menemani malam-malamku demi mengejar kelulusanku. Kata temanku, untuk apa juga kelulusan dikejar? Ah, tapi kamu sendiri tahu, aku sudah cukup frustasi dengan banyak tuntutan, terutama dari diriku sendiri yang tidak lelah menggerutu dan meruntuk kemanjaanku yang lebih dipanggilnya dengan kemalasanku. Kamu tahu, aku iri dengan teman-temanku yang sudah mendapat gelar kesarjanaan mereka. Mungkin sama juga dengan irinya mereka dengan apa yang masih bisa aku raih menggunakan gelar kemahasiswaanku. Entahlah, yang jelas aku minta kamu untuk terus menyemangatiku. Jangan sekali-kali membuatku malas menatap layar virtual yang nantinya akan menjadi lembar yang seharusnya sudah direvisi berkali-kali oleh dosen pembimbingku. Terimakasih untuk menjadi yang baik bagiku, Sam. Sampai detik ini pun, kamu masih saja menemaniku, bernyanyi “Strawberry Swing” untukku.

Surat ini untuk kamu yang selalu menatapku tanpa kelu. Atau kah barangkali kamu sudah kelu tapi tidak pernah mau mengaku? Ah tapi bagiku sama saja, asal kamu ikut tersenyum saat aku tersenyum pun sudah cukup. Karena kamu tidak perlu tertawa saat aku hanya tersenyum, akan terlihat mengerikan tahu! Terimakasih ya, sudah mau aku ajak kemana pun aku membawamu. Aku memang selalu insecure tanpa kamu. Terlepas dari kebisaanmu menunjukkan siapa diriku, aku sangat menghargai waktumu yang sedikit-sedikit ku curi demi diriku. Iya, kamu tahu seberapa egoisnya aku. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu karena mungkin seberapa pun aku dan kamu mengelaknya, sebagian dirimu adalah aku.

Sekali lagi, aku senang mempunyai kalian. Entah seberapa sepelenya kalian dimata mereka yang bukan aku. Dan tanpa bosan, terimakasih untuk kesediaan kalian bertahan bersamaku; kacamata hitam minus dua seperempat pemberian Ayah yang tak tergantikan, skuter matic hitam yang hampir setiap hari ku ajak jalan, laptop silver yang sepertinya sudah butuh diinstal ulang, pun cermin biskuit kesayangan yang sudah tua tapi tetap ku timang. Hahaha, aku sudah terlihat sedikit gila mungkin karena menulis surat untuk kalian. Tapi kalian tetap tidak keberatan kan?

Dari pemilikmu yang sering lupa melabeli kalian kesayangan. Mohon dimaafkan.

Saturday 26 January 2013

Imel


Dear Imel wherever you are,

Do you remember me? We have ever met, years ago. When you don’t even know how to say “mama”, “papa”, “brother”, “sister” or even “banana”. I remember you, because your photo always on my room, over there, beside the Japanese girl I paint years ago after I met you, I guess. I don’t know why I put your photo there, but I just don’t want to move it. I don’t always remember you, I’m sorry. But I really can’t forget you. How can I forget you?

Sometimes I wish you were here, just like your older sister and brother. I know it’s stupid thing to wish, but everytime I remember you, I can’t wish another thing to wish. Do you know how much I miss you? I know, I can’t come to you with thousand tears just to say such thing like I do miss you and I do love you. I am not  even sure that you’ll understand my words. Will you believe me? Oh God, I hope God let you to read and understand my letter, someday. Yes someday, perhaps when the tear is not so painful as it should be.

Mom said that you just like me, your face. Then I was laughing at the truth that I never realize it. I don’t even know why I’m Dika and you’re Imel. It would be nice if only I could speak to you everyday, and perhaps shout to something bad you do during the day. Mom always does it to me, not to make me feel I’m so guilty, but to make me realize that some things have to be done properly. I never hate her. I wish you never hate her too.

I’m dreaming to the day we finally meet again. But before that, I need to take care many things here, just to show the world that I’m ready enough to leave it someday, just to show that I’m strong enough to face whatever the world gives me day by day, just to show those people that I’m good enough to be a big sister not just for a day. Do you feel those words are bittersweet and sweet at the same time? Because in the end of this letter, I feel nothing. I can’t believe that now I feel empty. Perhaps I really miss you like a bird misses its wings. God bless you, sister.

from a 22 years old girl who always prays for you everytime she remembers you

Thursday 24 January 2013

Balada Lantai Dansa


Untuk yang aku rindukan dengan terlalu,

Kamu. Baiklah, sebut saja ini juga surat rindu. Sudah berapa lama ya kita tidak saling melepas rasa ingin bertemu? Apa kamu juga merindukanku? Seingatku, terakhir aku mengunjungimu sewaktu teman dekatku merengek minta bertemu juga denganmu. Itu sudah lebih dari sebulan yang lalu. Ah kamu, bisa saja membuat banyak orang buta dan terjebak rasa ngilu ingin bertemu.

Sudah sejak lama sekali aku ingin mengenalmu. Sejak dulu, sejak aku ingat kalau dulu aku pernah mengenalmu dalam wujud yang masih lalu. Entah apa rencana Tuhan, akhirnya sekitar setahun lebih beberapa bulan yang lalu aku memberanikan diri untuk benar-benar memujamu. Aku ingat, itu bulan Oktober. Pertemuanku denganmu sudah membawaku ke pertemuan dengan pria itu. Aku jadi tiba-tiba jatuh cinta padamu, selalu ingin mengunjungimu agar aku bisa juga terus bertemu dengan pria yang akhirnya sempat menjadi milikku itu.

Iya, itu bukan kemauanku, tapi mungkin kemauan hatiku. Ah, maaf. Karena dia pula aku jadi sedikit melupakanmu. Kerena kebutaanku pula aku jadi lambat-laun meninggalkanmu. Tapi Tuhan cukup adil kan? Selama aku pergi, kamu pasti sudah bertemu banyak manusia baru yang akhirnya juga memujamu. Kamu memang punya sejuta pesona yang tak akan termakan waktu.

Sebenarnya, aku masih mencintaimu. Aku masih bisa memujamu tanpa kelu. Tapi kamu tahu, aku setengah menyerah karena sesuatu. Aku terlalu takut, jika bertemu lagi denganmu, aku akan terus mengingat kenangan yang seharusnya segera aku lupakan. Iya, aku bahkan sedang belajar untuk membencimu karena sesuatu yang semu, yang sama sekali bukan salahmu.

Aku sudah berpisah dengan pria itu. Kenapa katamu? Tentu saja karena aku tidak lagi mampu berbagi (ke)kasih. Lebih baik aku sendiri, dan mungkin saja bisa kembali padamu, pikirku. Iya, pemikiran itu sempat melintas di kepalaku. Masih maukah kamu menerimaku? Pasti masih. Sayangnya, aku juga masih terlalu egois untuk sekedar tidak memikirkan pria itu jika menemuimu. Dan sekarang aku meninggalkanmu, sama seperti hatiku yang meninggalkan pria itu sendiri melawan waktu. Toh bukan salahku, mungkin salah hatinya, jarak dan waktu. Tapi apa peduliku?

Sungguh, aku rindu padamu. Aku rindu harus kepayahan menyesuaikan gerakan dengan irama lagu-lagu salsa juga bachata yang tak pernah sukses aku taklukkan dalam hitungan minggu. Aku rindu dibuai lagu-lagu latin yang selalu ingin ku dengar tanpa jemu. Aku rindu menari di tempatmu, lantai dansa yang sudah lama tak ku kunjungi karena egoisnya aku.

Andai saja aku sudah bisa berdamai dengan waktu dan hatiku, aku akan segera mengunjungimu. Tak  peduli jika pria itu masih juga menunggu kesempatan menemuiku di tempatmu, persis seperti yang diucapkannya padaku saat terakhir bertemu. Entah, belum juga ku putuskan, tapi aku pasti akan mengunjungimu. Mungkin hanya untuk melepas rindu denganmu, dengan salsa, bachata atau chachacha yang mungkin juga merindukanku.


Wednesday 23 January 2013

Jarak Memang Jahat

Untuk yang terbatas jarak,

Iya, jarak. Bukan, ini bukan lagi tentang jarak sekian ratus kilometer antara aku dan lelakiku yang dulu itu. Ini tentang jarak tak kasat mata antara aku dan kamu, antara aku dan mereka. Dunia memang sudah berubah, atau kah kita saja yang terlalu lama terdiam tanpa jengah, hah?

Hai kamu, ah.. lebih tepatnya kalian. Kalian tahu, aku rindu. Aku rindu tawa keras kita setelah melakukan banyak hal bodoh bersama, mulai dari mematikan laju eskalator yang sedang berjalan atau menyeberang tanpa melihat laju kendaraan. Makian, dan teguran para orang orang bermuka merah marah yang akan menghentikan. Kita pernah menjadi pengacau yang gila, pemimpi yang bodoh, teman berdiskusi tentang segala asa.

Jika jarak hanya sebatas kilometer yang terbentang, pasti tidak akan sesulit ini untuk sekedar melepas rindu. Tapi jarak antara aku dan kamu, aku dan kalian, sudah lebih dari itu.

Satu, jarak yang bernama gengsi. Halo kamu, yang sudah lama tidak bercakap denganku karena gengsi mengakui kesalahanmu. Apa kabar? Aku rindu.

Dua, jarak yang bernama kesibukan. Halo kamu, yang sudah lama tidak bertemu denganku karena kesibukanku dan kesibukanmu tidak mau sebentar saja berdamai dengan waktu. Apa kabar? Aku sangat rindu.

Tiga, jarak yang bernama rasa tidak saling membutuhkan. Halo kamu, yang sudah lama menghilang karena tidak lagi butuh aku. Halo juga kamu, yang sudah lama aku tinggalkan karena aku rasa tidak lagi butuh kamu. Ternyata aku rindu.

Empat, jarak yang bernama dendam. Halo kamu, yang sudah mendorongku dengan sengaja ke tempat yang tidak seharusnya sehingga dendam pula menghampiriku dan membuatku tidak mau lagi mengenalmu. Entahlah, belum ku putuskan apakah ini namanya juga rindu.

Lima, jarak yang bernama hidup. Halo kamu, yang sudah merasa hidup tanpa aku. Halo juga kamu, yang mengajariku hidup tanpa kamu. Kamu tahu, aku masih ingin belajar banyak bersamamu tentang hidup, dan juga rindu.

Begitu, seterusnya.. Tidak akan ada habis masaku menghitung jenis jarak yang sudah ku temui seiring berjalannya waktu. Mereka semua jahat. Mereka membuat rindu aku dan mungkin kamu enggan untuk bersatu.

Andai saja aku pandai berandai-andai. Aku mau Tuhan menghapus jarak antara aku dan kamu, aku dan kalian. Karena mungkin saja aku lelah bertahan sendirian. Karena mungkin saja aku ingin kita tidak saling melupakan setiap kenangan. Ah tidak, sebenarnya bukan itu. Aku memang tidak sebutuh itu. Jarak sudah mengajariku sesuatu. 

Lihat, jarak memang jahat kan? Mereka sudah mengubahku.



Tuesday 22 January 2013

Dear @NorahJones


I’m not good enough in arranging words to be a letter. And it’s my first time to write a letter to one of my fave singers from years; you. I won’t expect that you’ll reply this, of course. I know, a busy superb artist like you will have no time to reply every letter from your fans out there.

First time I knew you is when I was still young, seven years ago. I accidentally fell in love to your ‘Sunrise’ when I heard it on the radio. Now, that song is always on my playlist, beside your ‘Don’t Know Why’ and ‘Thinking About You’. Those three songs are my fave on the playlist, from you. Your vioce is never boring to be listened, Norah. I adore it, so much. If only I had a voice like yours-Oh okay, I’m dreaming..

I love to know a great multi talented artist like you; singer, songwriter, pianist, and also actress. Look, you’re adorable that much. For two years, the questions appear in my hear are like “Where are you?” and “Where have you been, Norah?”  I always hope to find your new thing stuff in the music stores. I’ll love to have it. Anyway,  thank you Norah.  You have given us a new thing to be listened last year, your ‘Little Broken Heart’. I should admit that it was a long wait, but what can I say? I love everything inside your album, as usual.

I know, perhaps it’s just a letter for you, and will only be a letter for everyone. But thousand times thanks for you, because of you, I love jazz. Though it’s just a stupid wish, but let me tell you; I hope I can see you live in concert. Well, not in the your newest concert this March in New Delhi, but someday. Yes, someday.

I’m sorry to hear that your Daddy has passed away last December. Please accept my deep condolence. I know how it feel to lose someone you love. I just wanna cry everytime I remember that I can’t meet my Grandma anymore. Be brave, Norah. Make your Daddy proud of your concert in his city.

xoxo

Tiara

Wednesday 16 January 2013

Maaf Untuk Terlalu Lama Menunggu

Dear kamu, yang sudah tak kuacuhkan dengan terlalu

Sepertinya akan lucu kalau aku langsung meminta maaf kepadamu. Oke baiklah, kali ini memang aku yang (sedikit) keterlaluan. Aku tidak menghargai perasaanmu, yang dengan setia sudah terlalu lama menungguku. Tapi kamu tahu kan, kemarin-kemarin aku memang kurang bisa menyisihkan waktu untukmu.

Aduh, jangan terlalu manja. Toh nanti kamu tahu, cepat atau lambat aku akan datang menemuimu. Memang sih, pada kenyataannya kelihatan agak terlambat. Ku pikir aku punya banya(aaaaaa)k alasan rasional untuk tidak memenuhi janjiku waktu itu. Janji untuk setia padamu. Janji untuk memikirkanmu setiap waktu. Jangan terlalu manja dengan mendesakku untuk menjelaskannya padamu. Toh kamu tahu aku tidak akan menyebutkan alasanku satu-persatu.

Aku sibuk, benar-benar sibuk. Apalagi akhir tahun kemarin. Kamu tidak mau kan merusak usahaku meraih impianku? Jadi jangan protes. Toh sudah aku buktikan padamu kalau aku memang bisa memanfaatkan kesempatan. Toh sudah aku buktikan padamu kalau aku pulang membawa kemenangan dari Jepang.

Dari semua yang sudah ku kecewakan karena terlalu banyak menunggu, percayalah kalau hanya kamu yang paling bisa mendapatkanku. Sungguh.

Sudah ya, jangan merajuk. Kini aku sudah tidak terlalu sibuk. Minggu ini adalah minggu terakhir aku mengajar di kelas bahasa Inggris murid-muridku. Hari ini adalah hari terakhir ujian akhir di kampusku. Janji deh, seusai seminar siang ini, aku akan mengunjungimu, aku tak akan berpaling darimu. Jangan ngambek ya, tugas akhirku! ^^

tertanda,

seorang mahasis(w)a unyu
@tiaratirr

Tuesday 15 January 2013

Pemilik Kawah Luka


Untuk kamu, yang punya seribu kata maha dewa @adimasnuel
*aduh, ketinggian :p

Aku tidak suka perkenalan yang tertele-tele. Begini saja, aku dulu yang memakai jasamu untuk mengantarkan suratku pada kota tercintaku. Satu-satunya surat cinta yang aku tulis di program tahun lalu. Awalnya, aku (terpaksa) mengenalmu hanya karena kamu adalah tukang posku. Tapi sungguh, ini keterpaksaan yang menggembirakan. Aku seperti menemukan dunia yang aku impikan. Karena keisenganku membuka kawah luka-mu lah, aku jadi jatuh hati padamu. Oh baiklah, mungkin tidak sejatuh itu. Aku mahasiswa sastra yang mudah jatuh hati pada kata-kata sutra. Jadi ini semua salahmu.

Untuk seseorang yang berumur lebih muda dariku, aku cemburu. Aku cemburu pada kebisaanmu merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi sarat makna. Sampai sekarang pun, masih ada beberapa puisimu yang tak juga ku mengerti maksudnya, belum ku ketahui pesan tersembunyinya. Membaca puisimu seperti bermain teka-teki dengan bom waktu. Sebenarnya sudah berapa banyak buku sastra dan filsafat kau telan di sela waktumu?

Aku paling suka salah satu kalimat dipuisimu yang begini: ajari aku tuk berpikir masak-masak, biar lara tak ku telan mentah-mentah. Untuk itukah kau namai ladangmu dengan nama kawah luka? Apa memang sesakit itu? Entah sebuah dusta, atau kejujuran yang terlampau nyata, aku tetap suka caramu bersembunyi dari hingar-bingar dunia; menulis puisi-puisi itu. Jadikan lah seribu, agar bisa ditengok tanpa jemu.

Terimaksih untuk membaca (yang hampir mirip) surat cinta ini. Jika suatu hari nanti kau sudah lelah menulisi kawah luka-mu lagi, jangan lupa ada aku yang hobi menunggu postinganmu.

Terimakasih untuk tetap menyadarkanku bahwa aku menyukai puisi lewat goretan tanganmu, atau lebih tepatnya tarian jemarimu. Aku akan lebih banyak bersajak, meski hanya untuk diriku.

Terimakasih untuk seratus enam puluh sembilan puisi yang sudah kau sediakan untuk ku baca sewaktu-waktu. Boleh tidak kalau yang ke seratus tujuh puluh nanti buatku? Hahahaha.

Sudahlah, masih akan banyak pertanyaan dan permintaan jika tak ku hentikan dari sekarang.

Selamat menyelesaikan buku antologi puisi tunggalmu. Aku akan sabar menunggu. Kelak, kalau sudah jadi, jangan lupa mention aku. Aku tidak akan keberatan mengantri demi bukumu. Sungguh.

aku, yang tinggal di kota sebelah rumah orang tuamu.
@tiaratirr