Tuesday 15 May 2012

Mahakarya Bangsa Belanda Yang Tak Habis Dimakan Jaman

"God created the world but the Dutch created Holland."
Pernahkan kalian membayangkan tinggal di suatu daerah yang terletak di bawah permukaan air laut? Coba bayangkan tinggal di negeri Belanda. Belanda merupakan negara kecil di Eropa Barat yang seperempat luas wilayahnya berada di bawah permukaan air laut. Dahulu, daerah di negeri Belanda yang dapat dihuni hanyalah dataran tinggi di daerah timur dan selatan, sementara dua per tiga sisanya merupakan daerah yang sangat rawan banjir. Dalam catatan sejarah, salah satu banjir paling merusak di Belanda terjadi pada tahun 1421, yang dikenal dengan St. Elizabeth's flood.
Dengan negara yang jumlah penduduknya terus bertambah, bangsa Belanda mencoba mencari pemecahan masalah dari isu banjir yang dimilikinya. Pada abad ke-18, bangsa Belanda berinovasi dengan membangun polder untuk mengeringkan air di dataran rendah agar daerahnya dapat ditinggali. Polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh timbunan atau tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan, yang berarti tidak memungkinkannya kontak dengan air dari daerah luar selain yang dialirkan melalui perangkat manual. Kini, polder yang menjadi fondasi utama sebagian besar wilayah di negeri Belanda ini dipakai di beberapa negara seperti di Belgia (De Moeren, Kabeljauwpolder, Polder of Stabroek), Prancis (Marais Poitevin dan Les Moëres), Kanada (Holland Marsh), dan lain-lain. Inovasinya sedikit banyak telah memepengaruhi tata kota negara di dunia. Bandara Schiphol di Amsterdam yang berada 4.5 meter di bawah permukaan air laut adalah bukti suksesnya pembangunan polder oleh bangsa Belanda.
Kinderdijk
Selain polder, ada pula bangunan lain yang pertama kali dibuat oleh arsitek Belanda, Jan Adriaanszoon Leeghwater, yaitu; kincir angin. Inilah alasan mengapa Belanda dijuluki sebagai "Negeri Kincir Angin". Kincir angin sendiri berfungsi untuk memindahkan air limpahan polder menuju ke sungai. Ada sebuah desa kecil di Provinsi Zuid Holland bernama Kinderdijk yang mengoleksi lebih dari 19 kincir angin dari abad ke-18. Pada tahun 1997, UNESCO menempatkannya dalam daftar World Heritage Sites.



Mulai dari polder dan kincir angin, bangsa Belanda mulai berkreasi dan terus-menerus mengembangkan inovasinya untuk penanggulangan banjir dengan moderenisasi karya dan orientasi internasionalnya, seperti Zuiderzee Works maupun Delta Works. Polder dan kincir angin adalah dua mahakarya abad ke-18 bangsa Belanda yang menjadi sumber segala inovasi para penduduknya.



Friday 11 May 2012

Para Penari

Mereka terus menari. Memulainya dengan langkah buta, tapi menolak untuk peduli. Seolah sedang berpentas di atas panggung megah teater lama yang kian terlupa. Gerakannya terus mengikuti irama yang sama; desahan nafas tertata, dan degub jantung yang tak terkata. Tak ada kilatan kilatan cahaya yang menyemarakkan kesukacitaan di antaranya, tapi mereka melaju saja. Entah tarian apa yang sedang coba mereka perlihatkan. Pasti bukan empat ketukan salsa, atau enam langkah mesra bachata. Lebih rumit, hanya tersaji secara sederhana. Nah, tidak usah terlalu serius memperhatikannya. Nikmati saja. Sesap yang coba mereka pertontonkan pada kalian; gerakan gerakan dasar yang berkesan amatiran, pun langkah gontai beberapa di antaranya yang kerap kehabisan peran.
Di atas panggung beralas hitam yang awalnya menyiksa ini, mereka memulainya. Butuh lebih dari sebungkus keberanian untuk melihat ke arah si produser wanita di depannya, yang kadang mendecakkan sebait kekecewaan. Entah lebih karena ketidakberaturan kesepuluhnya, atau ketidakpuasan yang sengaja dibuat nyata. Toh jika tak mampu menari dengan nyaris sempurna, mereka tahu konsekuensinya apa. Bukan depaka si produser wanita tentunya. Hanya tarian mereka yang tak akan diakui sebagai mahakarya.
"Ini hanya awal.." kata kesepuluhnya, lirih, terbata, sembari menatap lekat mata pemiliknya, yang pada akhirnya menghadiahi rekah mawar tanpa keraguan. Dia pula si produser wanita, yang membiarka para penarinya; jemari mungil yang kuku kukunya berkuteks hijau pudar itu, menyanyikan senandung bahagia. Dia biarkan mereka menari, setidaknya mungkin, hingga habis masanya..