Friday 16 November 2012

Surat Cinta Terakhir; Di Stasiun Kereta


Aku baru saja menanam pohon bunga sepatu di halaman rumahku saat kau minta aku mengunjungimu. Andai bunganya mekar nanti, ku harap aku bisa memetik dan memakainya untuk menari di lantai dansa bersama sosokmu. Ini impianku, melantunkan doa-doa lewat tarian mesra dan lagu suka-cita menyambut percikan bahagia dari surga. Kau yang tahu bahwa aku suka menari meski mungkin tak sepandai dirimu, meski otak kananku tak telalu bisa berkompromi dengan kinerja saraf pengatur gerak motorikku, meski tubuh ini biasanya kepayahan mengikuti lantunan lagu-lagu yang bahkan mengartikannya saja aku tak mampu.

Kita pernah membangun taman bunga yang lebih menyerupai labirin bersama, yang bunga-bunganya ku pilih sendiri dengan perasaan haru, yang gudang tempat pupuknya berdiri di tanah lapang milikmu. Setiap tetes air yang kita jatuhkan untuk bunga-bunga itu bagaikan doa yang yang tak tersampaikan, doa yang selalu lupa kita panjatkan. Jadi tetes embun di taman itu, biarkan menjadi doa yang tak mampu kita teriakkan bersama.

Aku pernah bertanya padamu, percayakah kau pada Tuhan. Iya, jawabmu menyembunyikan keraguan karena tertutup logika-logikamu. Aku pernah bilang, aku suka melihatmu sembahyang, iya aku suka. Sedikit hal tentang beriringan menghadap Tuhan dalam kekhusyukan pun pernah kita kompromikan. Belum sekarang, kita lihat saja nanti, katamu. Iya, biar saja mengalir seperti air, sahutku.

Kita pernah terdiam di hamparan pasir milik Tuhan, memandang takjub ke cakrawala yang tak terbatas langit semburat biru menutup rasa heran, menanti senja yang cantik memabukkan pandangan, menyumpah ombak datang yang menggulung sederas air keran. Menyenangkan, sebuah memori yang tak ingin ku hapus meski yang lainnya mungkin hendak ku pupus.

Aku pernah ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti sajak-sajak yang selalu aku suka. Iya, mencintaimu dengan sederhana, tanpa banyak kata insecure kala cemburu melanda. Pun sejujurnya aku ingin dicintaimu dengan sederhana, tanpa banyak kata immature kala bosan meraja. Tidak sulit kedengarannya, tidak mudah pula kenyataannya.

Sebut saja aku egois atas semua kemanjaanku yang melulu ingin memeluk punggungmu, aku tidak peduli. Setidak peduli dirimu yang selalu merajuk menggodaku. Bukankah kita pernah terjatuh pada cinta yang membutakan bersama? Toh selama itu, kita tidak perlu mempermasalahkan bagaimana kau dan aku sempat pernah tidak mempunyai mata, bukan?

Jika cinta ini merepotkanmu, setidaknya milikilah dengan utuh, sebelum kau banting agar gaduh. Jika cinta ini kurang baik bagimu, setidaknya tunjukanlah kemana seharusnya berlabuh, sebelum tak kau acuhkan lagi hingga pemiliknya jenuh. Pun jika cinta ini menyulitkanku, setidaknya sudah ku tatakan sarapan, sebelum akhirnya ku lepas makan malam sendirian. Pun jika cinta ini kurang baik bagiku, setidaknya aku mungkin tak pernah enggan memaafkan, bahkan sebelum sempat kau mintakan.

Aku tidak pandai berandai-andai. Di sesap kegelisahan yang coba ku redakan sendirian, ada saja yang tak terbatas rinai. Jangan pegang gading pun belalai, jika tak sanggup kau jatuh di tepi pantai. Tenang saja, suntikan dogma-dogma baru yang kubiarkan masuk ke aliran darahku sudah cukup menenangkanku. Aku tidak suka sandiwara, pun linang yang disebut air mata. Kini aku tidak buta, jadi bersikaplah sebaik-baiknya. Berdoalah untukku seperti yang ku lakukan untukmu, di sela waktuku yang terbatas untuk mengingatmu. Ini yang kita sebut-sebut dengan kedewasaan, bukan?

Semesta lah yang mempertemukan kita di lantai dansa agar di selang nafas yang telah kita hembuskan tergesa ini, kau dan aku sempat menari bersama, kemudian merajut asa, dan pada akhirnya terhenti pada jeda yang terlalu lama. Bagaimana mungkin kita tidak mensyukuri setiap cara Tuhan membahasakan perasaan kita?

Aku pernah terhenti dan menghitung apa yang sudah kita punya. Mungkin cinta, mungkin asa, lalu apa? Jarak yang sempat terbentang di antara kita bukan alasan yang bagiku pantas diributkan. Rindu yang mencabik di antara waktu yang kita ulur bersama bukan alasan yang bagiku harus dipersoalkan. Saat tak terbentang jarak pun, kesibukan kau dan aku yang kadang terlalu bahkan bukan alasan yang bagiku patut dikoar-koarkan. Hingga akhirnya aku lupa bertanya, apa yang menurutmu baik bagimu, bagi kita. Hingga akhirnya kita lelah juga mengkompromikan visi dengan hati. Hingga akhirnya aku terpaksa pasrah juga melihatmu sempat salah melangkah. Hingga akhirnya aku juga yang bosan melihat kepura-puraan yang menjemukan. Maaf.

Kau pernah bertanya, apa yang aku bisa. Aku bisa mengajarimu sebuah bahasa baru, bahasa kalbu. Aku bisa menunjukkan padamu tarianku, tarian sendu. Aku bisa menuliskan sebuah kisah untukmu, kisah tentangmu dan aku. Apa ini sudah lebih dari cukup? Kuharap iya, karena aku sudah lelah. Aku ingin beristirahat barang sejenak. Aku ingin mengitung mundur waktu yang masih ku sisakan untukku, menilik langkah kakiku dan kakimu. Berbahagialah dengan kepergianmu dari hatiku, karena hatiku akan berbahagia menangisi kelegaannya untuk setiap jawaban dari pertanyaan yang tak sempat ia lontarkan kepadamu. Meski memarnya tak jua bisa sembuh sekejap mata, butuh waktu, masih butuh campur tanganmu.

Saat esok tiba, kau dan aku mungkin sudah akan sadar sepenuhnya, bagaimana kau mulai kehilangan rasa, dan bagaimana aku mulai merasa kehilangan asa. Pernah terpikirkan olehmu tidak, apa yang akan kau dapat dan dimana kau akan merapat saat kau pertama membagi hatimu? Sama, aku pun tidak pernah berpikir sejauh ini saat pertama aku mengikis asaku. Menyesal? Untuk apa, semua sudah berlalu. Aku bahkan tidak pernah menyesal pernah berpura-pura tidak terlalu membutuhkanmu, sama halnya dengan kau yang tidak pernah menyesal pernah berpura-pura tidak terlalu mencintaiku. Kau dan aku sama-sama sombong, sama-sama angkuh. Jika kau anggap ini sebuah drama, lalu kau pikir sudikah aku menganggap cinta kau dan aku dulu barang ilusi saja?

Saat kau minta aku untuk tidak membencimu, seharusnya kau sudah tahu jawabanku..

Anggap saja ini surat cinta terakhirku. Bukan doa yang kuselipkan di kado ulang tahunmu, bukan mimik muka yang selalu ingin ku gambar di salah satu jemarimu, bukan pula coretan yang sempat aku buat diantara lembar kerjamu. Ini surat cinta yang kutulis dengan tinta ungu untuk obati hatiku yang sedikit kelu karena rindu sosokmu yang dulu. Aku menulisnya lebih karena aku tak mampu membisikkannya ke telingamu; aku terlalu angkuh, sama sepertimu. Bawalah, sembunyikanlah, milikilah sendiri selagi kau mampu. Selamat pagi buta, kereta sudah memanggilmu. Temui aku di stasiun berikutnya, jika kita masih sempat punya waktu. Atau, jika kisah ini pada akhirnya hanyalah persinggahanmu dan aku, maka baiknya kita relakan, maka baiknya kita ikhlaskan, karena Tuhan lah pemilik rancangan dari segala rancangan, karena Tuhan lah yang paling tahu kemana seharusnya kau dan aku berhenti saat sedang tidak mencoba saling bertemu meski dalam angan.

*untuk yang terkasih, sebuah memoar selamat tinggal