Wednesday 12 February 2014

Perkara Diam dan Menunggu

Sayang,

Aku baru saja memetik setangkai bunga rindu sebelum akhirnya aku memutuskan menulis sebuah surat sebagai bahan bacaanmu, barangkali nanti kau ada waktu. Kata orang, bunga rindu ini mirip sekali dengan mawar merah jambu. Sangat cantik, tetapi duri-durinya mampu melukaimu.

Akan aku beri tahu satu rahasia. Aku benci dengan jarak di antara kita. Bukan tentang sekian ratus kilometer yang memang seharusnya, melainkan jarak bernama diam yang sedang sengaja kita ciptakan. Entah ini cinta atau apa, yang jelas aku tak suka kalau kau tak lekas bicara, memecah hening yang memarnya sudah tak terkata.

Sudahkah kau tahu. Pun aku membenci aku—yang mungkin bagimu—terlalu sibuk dengan duniaku, dan kau—yang mungkin bagiku—tak mau memaksaku untuk meluangkan waktu. Atau barangkali sebaliknya, tergantung dilihat dari teropong mana. Sadarkah kau, kita sedang sama-sama terjebak dalam labirin yang kita bangun berdua. Aku tahu, doa yang aku kirimkan saja tidak akan cukup menenangkan pikiranmu jika kau salah mengartikan keangkuhanku. Kali ini aku akan mengalah, menyulut pijar yang seharusnya sudah kita lalukan bersama demi memberi pertanda. Temukan aku, dan kita akan meninggalkan labirin ini bersama, atau selamanya tersesat di dalamnya.

Seseorang pernah bilang, “Tak ada penantian yang sia-sia. Toh jika nantinya tak membuahkan apa-apa, paling tidak kau sudah punya ketabahan yang mengakar.” Setiap harinya kutanam pohon bernama ketabahan hingga barangkali nanti aku bisa berteduh di bawahnya saat matahari sedang terik-teriknya bersinar menyengat kulitku. Asal tidak ada orang yang sengaja menyiram minyak dan menyulut api bernama cemburu, kau tidak usah khawatir karena aku akan baik-baik saja berlindung di balik rimbunan pohon itu.

Barangkali, aku seperti perempuan gurun bernama Fatima yang sudah ditakdirkan menunggu. Aku seperti Fatima yang tidak sengaja ditemui seorang bocah yang dulunya hanya penggembala domba, yang pada suatu masa lebih memilih untuk meninggalkan domba-dombanya dan pergi mencari harta karun di dekat Piramida. Belum pernah mendengar ceritanya, bukan? Seharusnya kau membaca bukunya, seperti yang pernah aku katakan sebelumnya.

Akan aku beri tahu satu rahasia lagi. Aku pernah memilih untuk tidak pergi, menjauh sekitar hampir sepuluh ribu mil ke tempat dimana aku bisa menghirup udara baru karena aku juga memikirkanmu. Memikirkan kita. Seseorang mungkin mengutuk keputusanku, tetapi toh aku tidak perlu menjelaskan teoriku. Tiga tahun mungkin bukan waktu yang lama untuk menunggu, jika hanya kau tidak disiksa rindu dengan terlalu. Rindu juga seperti pohon perdu, yang mellilit leher, membuat sesak nafasmu. Jika dulu aku pergi, mungkin aku tidak seperti Fatima lagi. Alih-alih aku, kau akan merasa menempati posisiku, dan apakah kau mau menungguku selama itu? Karena percayalah, entah untuk egoku atau pelukmu, aku akan kembali. Seperti aku yang masih percaya tentang teori rasa, entah yang disambut atau yang disambit, bahwa kita akan mensyukuri tiap detik yang pernah ada. Aku tidak terlalu kekanakan dengan menganggapmu sudah dewasa, bukan?

Aku membayangkan rasa kopi yang kau minum pagi ini. Bisa jadi rasanya sangat pahit seperti rasa teh hitam tanpa gula yang kemarin malam aku minum terlalu larut, atau lebih seperti air tawar, hambar. Maaf karena aku belum pernah membuatkan secangkir kopi untukmu. Satu-satunya permintaan maaf yang seharusnya tidak aku tuliskan dalam bahan bacaanmu. Aku tidak mau berjanji akan membuatkanmu kopi suatu hari nanti. Kecuali, jika kau mau berjanji untuk menikmati teh hangat denganku sambil menertawakan hidup, suatu hari nanti.

Monday 3 February 2014

Jangan

Jadi, anggap saja ini sebagai tanda protes tertulis karena akhir-akhir ini kamu terlalu sering datang. Aku memang tidak bisa menyalahkanmu atas keahlianmu menyelinap masuk melalui banyak kesempatan. Pun aku tidak bisa begitu saja membiarkanmu mengusik hidup yang sudah aku bangun sekarang.

Seseorang mengingatkanku agar berterima kasih padamu. Dia bilang, aku tidak mungkin bisa menghindarimu. Kamu serupa ilalang; ada dimana-mana, bahkan di pojokan gurun gersang. Barangkali dia benar, atau barangkali dia hanya ingin pembenaran. Seseorang juga pernah bilang, kamu memiliki dua kepribadian; baik dan buruk. Tetapi baik dan burukmu tidak bisa dipisahkan, bukan? Tidak akan ada hitam tanpa putih, atau tidak akan ada putih tanpa hitam. Semacam itu lah.

Aku juga pernah bilang, kamu boleh sesekali datang menengok keadaanku. Tetapi jangan terlalu sering. Aku tidak mau mengorbankan yang sudah aku miliki sekarang. Bisa saja beberapa orang di sekelilingku tidak menyukai kehadiranmu, bukan? Kata mereka, jika kamu datang, kadang aku menjadi muram. Kata mereka, jika kamu datang, aku seperti terserang penyakit kronis bernama lupa. Aku lupa dengan kenyataan.

Barangkali sebaiknya aku memang hanya berterima kasih kepadamu, tidak lebih, tidak kurang. Karena kamu, sekarang aku merasa menjdi orang yang lebih disayang Tuhan—tentu saja jika dibandingkan dengan aku yang dulu misalnya. Karena kamu, sekarang aku merasa mempunyai banyak harta, lebih-lebih yang tak kasat mata; kasih dan sayang yang datang tidak hanya tiba-tiba saja. Karena kamu, sekarang aku menjadi aku yang sekarang. Aku yang lebih berbahagia menerima aku yang seutuhnya.

Terimakasih kenangan.. Aku akan membiarkanmu tumbuh di ladang gersang yang memang sengaja aku sediakan. Jangan protes, itu lebih baik daripada aku dikaruniai penyakit lupa yang mereka sebut amnesia, bukan? Sedikit rahasia, ladang gersangku penuh unsur hara. Kamu hanya perlu lebih jeli menemukannya. Jadi sudah, diam disitu saja. Jangan pernah kamu usik teman baruku yang bernama harapan. Dia sedikit rapuh, masih butuh dikuatkan. Dia sedang tumbuh di padang rumput yang lebih pantas disebut oase tentu saja.

Barangkali nanti kalian akan menjadi teman, bisa jadi kan? Di suatu sore, sambil memandang senja di tepian laut, aku akan duduk diam ditemani kalian. Harapan akan membisikkan padaku skenario yang baru saja ditulisnya. Iya, dia suka sekali menulis peluang yang dinamainya impian. Dan kamu, diam saja disitu. Jangan berusaha membuat gaduh atau aku akan memukul kepalamu dengan ranting kecil yang tak sengaja aku temukan. Jangan bertengkar, aku tidak akan suka meneriaki kalian dengan umpatan-umpatan.

Nah, sekarang mengerti lah. Kali ini kamu jangan terlalu sering datang. Aku sedang sangat sibuk mengurusi harapan.

Sunday 2 February 2014

Menanti Malam

Aku tidak pernah mengerti mengapa kau lebih suka datang kala malam. Aku tidak pernah tahu kemana kau pergi kala siang menjelang. Apakah siang terlalu terik bagimu, hingga kau harus terkurung di tempat persembunyian? Ataukah siang terlalu silau bagimu, hingga kau harus mengais lorong gelap sendirian?

Andai saja kau tahu, disini aku selalu setia menantimu siang dan malam. Meski kadang, aku bosan dengan siang tanpamu yang menjemukan. Meski kadang, aku lelah dengan penantian dirimu yang panjang.

Aku disini tidak punya teman. Bagiku, kau adalah ladang basah belum diolah yang akan ku paksa menampung biji-bijian dari kantongku yang keemasan. Ku namai mereka harapan. Bagiku, hanya kau yang akan mampu menyemai rerumputan di kala semua tertidur di kasur melipat-lipat khayalan.

Cepat datang, jangan bosan.

Aku, punguk yang merindukan bulan

Saturday 1 February 2014

Jadi, Februari..

Februari,

Sebelum nanti saya lupa, perkenankan saya melontarkan pertanyaan tentang kejutan apa saja yang sudah anda persiapkan untuk saya, boleh? Maaf jika terkesan kurang ajar, akhir-akhir ini saya hanya belajar lebih frontal dan formal. Anda tidak terlalu terganggu dengan kata ‘saya’ dan ‘anda’, bukan? Karena ‘aku’ dan kamu’ terlalu polos kedengarannya.

Daripada berputar-putar, sebaiknya mungkin saya menanyakan kabar anda. Jadi bagaimana, masihkah baik-baik saja dengan menjadi sosok anda yang dipuja khalayak muda dan dinanti-nantikan banyak manusia? Akan banyak—sebut saja—cinta yang disebar-sebarkan pada 28 hari masa jabatan anda, bukan? Lebih-lebih pada masa pertengahannya.

Jadi para pembuat coklat akan kebanjiran pesanan, pabrik-pabrik gula akan menaikkan jumlah produksi mereka menjadi paling tidak tiga kali lipat, dan akan banyak keuntungan yang diraup mereka pada masa jabatan anda yang singkat ini. Oh, barangkali para dokter juga sudah bersiap-siap kalau saja akan ada beberapa pasien darurat yang seharusnya tidak makan coklat, melanggar pantangannya. Sayang sekali jika angka penderita diabetes harus bertambah ya. Pekerja dunia mode dan para pengagum serta pengikutnya pun, barangkali kena pengaruhnya.

Tidak, tidak. Saya tidak menyalahkan anda dengan keriuhan perayaan pada bulan Februari yang sudah menjadi budaya di hampir seluruh belahan dunia ini. Toh, saya juga kadang-kadang menikmatinya. Sebagai pengemar coklat, tentu saya tidak bisa melewatkan potongan harga atau paket coklat cinta yang didisplay di rak-rak supermarket langganan saya, yang khusus ada pada masa jabatan anda. Bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk saya.

Jadi Februari, barangkali seseorang harus berterima kasih pada anda atau mengutuk adanya anda. Saya tidak terlalu menyukai anda karena anda terlalu banyak menghujani manusia dengan yang mereka sebut-sebut cinta. Bukannya segala yang terlalu itu tidak pada tempatnya? Dan lagi, anda mengingatkan saya pada beberapa hal yang seharusnya sudah sirna. Seperti cake coklat yang pernah saya buat sedikit terlambat. Saya menyesal tidak mencatat resepnya.

Saya hanya berharap, anda tidak terlalu banyak membawa hujan, seperti yang sudah Januari lakukan. Saya juga berharap, anda bisa segera mempertemukan saya kepada yang sudah saya damba-dambakan, membawa kabar baik yang saya nantikan. Selebihnya, kalau saya masih boleh berharap, secepat atau selambat apapun anda berjalan, biarkan manusia-manusia yang hidup di masa jabatan anda merasa bahagia dan bersuka cita, sebelum mungkin nanti mereka merasakan duka--bertemu dengan September misalnya.

Saya sudahi saja ya suratnya.

Salam

-kali ini peluk jauh saja-