Friday 11 May 2012

Para Penari

Mereka terus menari. Memulainya dengan langkah buta, tapi menolak untuk peduli. Seolah sedang berpentas di atas panggung megah teater lama yang kian terlupa. Gerakannya terus mengikuti irama yang sama; desahan nafas tertata, dan degub jantung yang tak terkata. Tak ada kilatan kilatan cahaya yang menyemarakkan kesukacitaan di antaranya, tapi mereka melaju saja. Entah tarian apa yang sedang coba mereka perlihatkan. Pasti bukan empat ketukan salsa, atau enam langkah mesra bachata. Lebih rumit, hanya tersaji secara sederhana. Nah, tidak usah terlalu serius memperhatikannya. Nikmati saja. Sesap yang coba mereka pertontonkan pada kalian; gerakan gerakan dasar yang berkesan amatiran, pun langkah gontai beberapa di antaranya yang kerap kehabisan peran.
Di atas panggung beralas hitam yang awalnya menyiksa ini, mereka memulainya. Butuh lebih dari sebungkus keberanian untuk melihat ke arah si produser wanita di depannya, yang kadang mendecakkan sebait kekecewaan. Entah lebih karena ketidakberaturan kesepuluhnya, atau ketidakpuasan yang sengaja dibuat nyata. Toh jika tak mampu menari dengan nyaris sempurna, mereka tahu konsekuensinya apa. Bukan depaka si produser wanita tentunya. Hanya tarian mereka yang tak akan diakui sebagai mahakarya.
"Ini hanya awal.." kata kesepuluhnya, lirih, terbata, sembari menatap lekat mata pemiliknya, yang pada akhirnya menghadiahi rekah mawar tanpa keraguan. Dia pula si produser wanita, yang membiarka para penarinya; jemari mungil yang kuku kukunya berkuteks hijau pudar itu, menyanyikan senandung bahagia. Dia biarkan mereka menari, setidaknya mungkin, hingga habis masanya..

No comments:

Post a Comment