Judul Buku :
Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis :
Eka Kurniawan
Penerbit :
PT. Bentang Pustaka
Halaman :
170
ISBN :
978-602-291-072-5
Cetakan I :
Maret 2015
Hari itu sebenarnya saya tidak berencana membeli buku. Anehnya,
setiap kali langkah saya berbelok memasuki toko buku, sekonyong-konyong saya pun
tidak bisa menolak keinginan untuk menyamber paling tidak sebuah buku. Dan
begitulah, saya terpukau dengan sampul dan judul panjang sebuah buku yang diterbitkan
oleh Bentang Pustaka; Perempuan Patah
Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Untuk sebuah judul, buku yang
merupakan kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan ini terbilang tidak biasa. Saya
maklum, penulisnya saja tidak biasa. Saat mengikuti forum diskusi terbuka dari
Ubud Writers & Readers Festival tahun 2015 lalu, di mana si penulis buku
menjadi salah satu panelisnya, Eka Kurniawan sudah mendapat julukan tersendiri;
A Writer to Watch.
Penuturan Eka Kurniawan yang jujur dan polos saat
menceritakan kisah perjalanan panjang dalam dunia sastra dan menulisnya kala
itu, tidak jauh berbeda dengan kejujuran alur cerita dari tiap cerpen dalam
buku ini.
Dengan apik, Eka Kurniawan berdongeng melalui
cerpen-cerpennya, membuat saya terpental ke sebuah masa, bahkan tempat yang
berbeda. Ceritanya lugu dan sebenarnya sangat umum terjadi. Namun, justru keluguan
cerita yang dibalut dengan satir dan metafora tersebutlah yang menjadikan
setiap halaman demi halaman buku ini terasa istimewa.
Dimulai dari Gerimis
yang Sederhana, melalui cerpen pertamanya, seolah Eka Kurniawan ingin
menceritakan sebuah kekacauan di suatu masa sebagai bagian dari memori si tokoh
utama. Penamaan tokoh Mei dan masa
kelam di negara tempat dulunya ia tinggal-Indonesia-pada tahun 1998, justru membuat
saya bertanya; Apakah Eka Kurniawan
sebenarnya ingin menyinggung cerita kelam para gadis keturunan Tinghoa yang sempat
diperlakukan tidak layak di Indonesia kala itu? Jika demikian, cerdas
sekali cara menyusupkan pengetahuan tersebut meski inti ceritanya justru sangat
sederhana. Sesederhana seorang pria yang sudah menikah dan melepas cincin
pernikahannya sebelum bertemu dengan seorang wanita kenalan barunya.
Ya, cerpen-cerpen Eka Kurniawan dalam buku yang satu ini
bergulir seperti cerita sehari-hari sekaligus dongeng. Gincu Ini Merah, Sayang dengan gamblang menggambarkan perbedaan
pola pikir lelaki dan perempuan, yang diceritakan lewat kisah pasangan suami
istri yang dulunya merupakan pelanggan dan pelayan. Dari ini, saya mengaminkan
saja bahwa drama yang terjadi tersebut sangatlah masuk akal. Bukankah katanya lelaki
dan perempuan memang berasal dari ‘planet’ yang berbeda?
Mengenai cerpen yang kemudian dijadikan Eka Kurniawan
sebagai judul buku ini, tidak kalah mencuri perhatian saya. Barangkali karena
menyangkut mimpi, saya suka cita saja membacanya. Saya tergelitik dengan kisah
perempuan yang bergerak untuk menemukan cinta sejati setelah melihat pertanda
dari mimpi-mimpinya. Barangkali tidak masuk akal, tapi saya menyukai
kegigihannya. Segigih Santiago-tokoh Paulo Coelho dalam Sang Alkemis-yang memulai perjalanan untuk mencari harta karun
dekat piramida hanya karena pernah memimpikannya.
Selain tiga inti dari cerpen yang telah saya ulik di atas,
ada dua lainnya yang berkesan. Teka Teki Silang yang mendebarkan dan membuat
saya berharap ceritanya bisa lebih panjang, serta Pengantar Tidur Panjang yang mengharukan, di mana si tokoh utama
juga digambarkan sebagai lulusan Ilmu Filsafat, sama seperti si penulis dalam
kehidupannya.
Tentu
saja, saya tidak bisa mengulas satu persatu cerpen dalam buku ini. Yang pasti,
Eka Kurniawan tidak hanya sukses mengetikkan huruf dan merajut kata. Ia memberi
pengetahuan terselubung, pemikiran baru, senyum di sudut bibir, dan gelengan
kepala heran tidak percaya, bahwa kumpulan cerpen yang diangkat dari kisah
sehari-hari bisa saja semenarik ini.
No comments:
Post a Comment