Friday 21 July 2017

[Resensi] Ayah oleh Andrea Hirata

Judul Buku           : Ayah
Penulis                 : Andrea Hirata
Penerbit                : PT. Bentang Pustaka
Halaman              : 412
ISBN                    : 978-602-291-102-9
Cetakan I             : Mei 2015

Saya selalu mengagumi keahlian Andrea Hirata menceritakan detail atau latar di tiap kisah yang ditulisnya. Tidak terlewat, dari buku berjudul Ayah yang satu ini. Barangkali benar jika Andrea Hirata selalu membuat pembacanya kemudian mengagumi Belitong, bahkan sebelum kita sempat ke sana.

Di sebuah desa bernama Belantik, Pulau Belitong, semuanya dimulai. Seorang lelaki bernama Sabari cinta mati dengan perempuan bernama Marlena, yang pertama ditemuinya saat ujian masuk Sekolah Menegah Atas Negeri. Ia tidak pernah berpaling dari gadis ayu yang biasa dipanggil Lena tersebut, meski perlakuan buruk kerap diterimanya, meski ketiga sahabatnya yang bernama Ukun, Tamat, dan Toharun, telah menyuruhnya melupakan Lena. Bahkan saat bertahun kemudian Lena justru hamil di luar nikah, Sabari rela menumbalkan diri untuk menikahi Lena, demi menyelamatkan nama baik keluarga dari wanita pujaannya itu.

Sabari—yang diberi nama demikian oleh Ayahnya dengan harapan bahwa ia bisa selalu sabar—dengan lapang dada memberikan kasih sayang tiada tara untuk anak yang dipanggilnya Zorro, meski bukan anak kandungnya. Satu demi satu sumber kebahagiaan Sabari terenggut, setelah Lena, wanita yang diperistrinya tersebut akhirnya menggugat cerai Sabari dan mengambil paksa Zorro saat anak itu baru berusia tiga tahun. Kesedihan Sabari menjadi-jadi, hingga bertahun kemudian ia terus berharap anak kesayangan yang baginya memiliki pelukan serupa awan itu kembali.

Cerita Andrea Hirata yang satu ini sangat kompleks, mengalir tak terduga. Runtutan cerita yang maju-mundur seolah mengajak pembaca merangkaikan sendiri puzzle-puzzle yang berserakan, seakan menunggu kita merampungkan cerita hingga mendapati pesan indah betapa kasih sayang Ayah kepada anak juga tidak kalah besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anak, seperti yang kerap dibicarakan orang kebanyakan.

Tidak hanya cerita tentang hubungan antara orangtua dan anak yang bisa ditemukan dalam kisah ini, namun juga kegigihan dan dedikasi dalam menjalankan sesuatu, haru biru persahabatan, cinta tulus yang tidak mengharap pamrih, bahkan hal-hal yang awalnya terkesan sepele seperti betapa pentingnya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ya, dalam buku Ayah, diselipkan cerita mengenai Ukun dan Tamat yang dibekali kamus oleh mantan guru Bahasa Indonesia mereka, saat hendak melakukan perjalanan menyusuri Sumatra demi menemukan Lena dan Zorro yang bertahun-tahun tiada rimbanya.

Yang saya suka, Andrea Hirata juga menyelipkan pesan, atau bisa dibilang mengungkapkan keprihatinannya, akan semakin tipisnya generasi sekarang yang berkirim surat dengan sahabat pena. Hal tersebut diceritakan dengan renyah melalui kecintaan Lena berkirim surat dengan para sahabat penanya.

Selain itu, cerita menarik lain terselip dan bermula dari pesan alumunium yang dikirim Sabari untuk menemukan Zorro lewat seekor penyu. Cerita yang kemudian—bagi saya—menambah haru buku yang satu ini; mengenai anak-anak suku Aborigin yang pernah mengalami masa suram, terpisahkan dengan sanak saudaranya.


Bagi saya, cerita yang dibawakan Andrea Hirata melalui tokoh-tokohnya yang sederhana, yang sebagian besar menggambarkan orang-orang dari kalangan kurang berada, yang kerap dipandang sebelah mata itu justru memberi kita peluang untuk terus belajar dari hidup, melihat lebih awas dan menyukuri lebih dalam untuk tiap detail cerita ada.

No comments:

Post a Comment