Sayang,
Aku baru saja memetik setangkai
bunga rindu sebelum akhirnya aku memutuskan menulis sebuah surat sebagai bahan
bacaanmu, barangkali nanti kau ada waktu. Kata orang, bunga rindu ini mirip
sekali dengan mawar merah jambu. Sangat cantik, tetapi duri-durinya mampu
melukaimu.
Akan aku beri tahu satu rahasia.
Aku benci dengan jarak di antara kita. Bukan tentang sekian ratus kilometer yang memang seharusnya, melainkan jarak bernama diam yang sedang sengaja kita ciptakan. Entah ini
cinta atau apa, yang jelas aku tak suka kalau kau tak lekas bicara, memecah hening yang memarnya sudah tak terkata.
Sudahkah kau tahu. Pun aku membenci
aku—yang mungkin bagimu—terlalu sibuk dengan duniaku, dan kau—yang mungkin bagiku—tak
mau memaksaku untuk meluangkan waktu. Atau barangkali sebaliknya, tergantung
dilihat dari teropong mana. Sadarkah kau, kita sedang sama-sama terjebak dalam labirin
yang kita bangun berdua. Aku tahu, doa
yang aku kirimkan saja tidak akan cukup menenangkan pikiranmu jika kau salah
mengartikan keangkuhanku. Kali ini aku akan mengalah, menyulut pijar yang
seharusnya sudah kita lalukan bersama demi memberi pertanda. Temukan aku, dan
kita akan meninggalkan labirin ini bersama, atau selamanya tersesat di dalamnya.
Seseorang pernah bilang, “Tak
ada penantian yang sia-sia. Toh jika nantinya tak membuahkan apa-apa, paling
tidak kau sudah punya ketabahan yang mengakar.” Setiap harinya kutanam
pohon bernama ketabahan hingga barangkali nanti aku bisa berteduh di bawahnya
saat matahari sedang terik-teriknya bersinar menyengat kulitku. Asal tidak ada orang
yang sengaja menyiram minyak dan menyulut api bernama cemburu, kau tidak usah
khawatir karena aku akan baik-baik saja berlindung di balik rimbunan pohon itu.
Barangkali, aku seperti perempuan
gurun bernama Fatima yang sudah ditakdirkan menunggu. Aku seperti Fatima yang
tidak sengaja ditemui seorang bocah yang dulunya hanya penggembala domba, yang pada
suatu masa lebih memilih untuk meninggalkan domba-dombanya dan pergi mencari harta karun di dekat Piramida. Belum pernah mendengar ceritanya, bukan? Seharusnya kau membaca
bukunya, seperti yang pernah aku katakan sebelumnya.
Akan aku beri tahu satu rahasia
lagi. Aku pernah memilih untuk tidak pergi, menjauh sekitar hampir sepuluh ribu
mil ke tempat dimana aku bisa menghirup udara baru karena aku juga
memikirkanmu. Memikirkan kita. Seseorang mungkin mengutuk keputusanku, tetapi toh aku tidak
perlu menjelaskan teoriku. Tiga tahun mungkin bukan waktu yang lama untuk
menunggu, jika hanya kau tidak disiksa rindu dengan terlalu. Rindu juga seperti
pohon perdu, yang mellilit leher, membuat sesak nafasmu. Jika dulu aku pergi, mungkin
aku tidak seperti Fatima lagi. Alih-alih aku, kau akan merasa menempati
posisiku, dan apakah kau mau menungguku selama itu? Karena percayalah, entah
untuk egoku atau pelukmu, aku akan kembali. Seperti aku yang masih percaya
tentang teori rasa, entah yang disambut atau yang disambit, bahwa kita akan
mensyukuri tiap detik yang pernah ada. Aku tidak terlalu kekanakan dengan
menganggapmu sudah dewasa, bukan?
Aku membayangkan rasa kopi yang kau minum pagi
ini. Bisa jadi rasanya sangat pahit seperti rasa teh hitam tanpa gula yang kemarin
malam aku minum terlalu larut, atau lebih seperti air tawar, hambar. Maaf karena
aku belum pernah membuatkan secangkir kopi untukmu. Satu-satunya permintaan
maaf yang seharusnya tidak aku tuliskan dalam bahan bacaanmu. Aku tidak mau
berjanji akan membuatkanmu kopi suatu hari nanti. Kecuali, jika kau mau berjanji
untuk menikmati teh hangat denganku sambil menertawakan hidup, suatu hari
nanti.
No comments:
Post a Comment