Kata orang, aku
gila karena punya cita-cita keliling dunia. Kata orang, aku bisa buta karena
punya keinginan terlalu banyak melihat ke luar sana. Kata orang, aku naif saat
aku mulai banyak menulis di atas kertas tentang impianku disana. Tidak kah
mereka tahu kalau itu doa? Silakan saja menertawai doa-doaku yang aku lagukan
sepanjang hidupku, aku tidak peduli. Silakan saja mencemoohku untuk semua
harapan yang terlalu omong kosong kalau menurutmu, aku tidak peduli.
Aku juga ingin
keliling Indonesia, tapi aku lebih ingin keliling dunia. Dunia terlihat sangat besar
memang, tapi tidak pernah sebesar Bima Sakti, tidak pernah sebesar ribuan
galaksi-galaksi. Jadi untuk apa menunggu lagi? Sudah banyak orang yang
membuatku iri (sekaligus bersemangat) karena kesempatan mereka yang lebih dulu
bepergian kesini-sana. Mereka terlihat bahagia.
Hey T, aku dulu tidak suka
padamu. Aku sendiri heran mengapa hampir setiap teman dekatku ingin menginjakkan kaki
di tanahmu. Di masa kuliahnya, seorang temanku bahkan mempelajari bahasamu. Aku
dulu tidak suka lagu yang diputar adikku dalam bahasamu. Selalu berisik kalau
menurutku. Aku dulu tidak suka makananmu, bagiku makanan Italia lebih akan
memanjakan lidahku. Setidaknya, pasti lebih asin daripada banyak makananmu yang
plain. Aku dulu tidak suka hampir
semua tentangmu.
Desember tahun
lalu, aku berkesempatan mengunjungimu. Di antara kompetisi yang aku ikuti,
entah kenapa Tuhan malah memenangkanmu untukku. Mungkin Tuhan tidak suka caraku
tidak menyukaimu, jadi ditamparnya aku. Aku memang harus berjuang lagi di
tanahmu, menjadi yang tebaik diantara yang terbaik. Kalimat yang hampir
membuatku frustasi tapi entah mengapa aku bisa juga menikmati segala sensasi.
Aku dulu berjuang dengan banyak manusia-manusia baru yang terlihat jauh lebih
ambisius dariku. Kali ini benar kata orang,
jarak antara kamu dan mimpimu hanyalah orang-orang yang lebih ambisius itu.
Jadi apapun yang kalian hadapi, berusahalah tanpa lelah, saranku.
Di tanahmu, aku
mengenal banyak orang baru. Mereka menjadi teman berdiskusiku, teman bermainku,
dan teman bersenang-senangku, pun pesaing untukku kala itu. Ah kamu, kamu
sudah mengajariku cara beradaptasi yang baru. Terimakasih.
Di tanahmu, aku
melihat dunia yang baru. Masa depan yang dirancang orang-orangmu yang sangat
ambisius itu, pun beberapa hal yang ku anggap mainstream yang tak bisa ku temui di sekitarku. Setidaknya, kamu
sudah mengajariku terus berpikir tanpa jemu. Terimakasih.
Di tanahmu, aku
pernah melihat seorang tuna netra berjalan sendirian di stasiun kereta yang
menurutku paling sibuk kala malam. Aku rasa dia tidak terlalu mengeluh dengan
begitu bisingnya langkah kaki ratusan manusia yang didengarnya seharian.
Hebatnya, dia bisa bertahan di tanahmu yang kata orang kejam. Iya, itu menjadi
pelajaran yang ku simpan. Ini juga terimakasih.
Aku sadar, aku
menikmati setiap momen yang aku habiskan di tanahmu; berbincang dengan
orang-orang baru tentang budaya dari negeri-negeri mereka, berdiskusi tentang sesuatu
yang sebelumnya tidak ku pahami sepenuhnya, menghirup udara musim dinginmu jika
berada di luar sana, menikmati design kotamu yang rapi dengan futuristik dan
budayanya, melihat orang sibuk berjalan lalu-lalang mengejar kereta malam,
mencium aroma harum yang kau sajikan di kedai-kedai makananmu yang dulu tidak
pernah ku sangka. Aku beruntung pernah dipertemukan Tuhan denganmu. Mungkin aku
harus lebih banyak mendengar kata orang sekarang. Tidak tentang impianku yang
mereka tentang, tapi tentang kamu dan kamu-kamu lain yang tadinya tidak mau ku
dengar dan ku perhitungkan karena kemalasanku mempelajari hal yang terlihat membosankan. Aku janji untuk tidak mengulangi. Pasti.
Di tanahmu, aku
menanam impian baru. Mungkin Holland masih menjadi favoritku, tapi kamu...
sejauh ini kamu lah yang paling berkesan yang sudah lancang menampar tidak
hanya pipiku, tapi pemikiranku. Terimakasih Tokyo. Sepertinya aku sudah
meninggalkan sebagian hatiku di tanahmu. Entah lebih karenamu, atau karena
orangmu itu. Ah Tokyo, I miss you.. Kalau aku ternyata tidak bisa datang lagi di
akhir bulan depan, tetaplah menungguku. Aku akan sangat senang untuk kembali
lagi menikmati setiap sajian yang akan kau hidangkan untukku. Semoga Tuhan
tetap mengijinkan.
Tiara
semoga kian rajin menulis. semoga bukan demi hadiah,
ReplyDeletesalam
ikavuje
makasih mbak ikah. sebenernya demi diri sendiri mbak :)
ReplyDelete