Kepada Si Fisika,
Atas nama fisika, kau
mengatakan kau bahagia saat medan magnetmu dan aku bertemu di suatu
titik berjarak nol berskala apa saja. Atas nama fisika, kau memaksaku
menghitung massa hati yang berdebar saat tangan kita bertautan. Atas
nama fisika, kau membuatku percaya bahwa E bukan hanya sama dengan
mc2, melainkan juga kau dan aku yang tanpa sekat.
Kau sudah banyak
mengatasnamakan fisika demi cinta kita. Cinta kita? Mungkin kini bisa
ku ralat dengan kata cintamu yang buta.
Kau sudah dibutakan
dengan hitungan matematika dalam fisikamu yang gila. Seharusnya kau
tahu kalau cintaku dulu bernama tak terhingga, sama seperti angka nol
dibagi bilangan apapun yang kau kagumi dengan sangat. Iya, rumus
dasar matematika yang selalu mengawali setiap kecintaanmu pada
fisika. Kau pernah berkata bahwa cintamu akan bertahan lama, selama
jarak bumi dan matahari dengan ukuran kecepatan cahaya yang tak
terhitung bilangannya. Aku pun pernah percaya, selayaknya aku
mengawasi stellarium menanti rasi bintang kejora menampakkan batang
hidungnya.
Aku pernah meredakan
egoku untuk sedikit memahami semua rumus fisikamu yang membingungkan.
Logikamu mengajariku berpikir bahwa cinta adalah saat ketinggian
hatiku selalu jatuh di hadapan gravitasi pesonamu. Dan memang benar,
tidak dapat ku sangkal walau awalnya terasa tak masuk akal.
Atas nama sastra, aku
berkata bahwa aku bahagia saat kau dan aku mempuisikan perasaan tanpa
sela. Atas nama sastra, aku memaksamu memaknai peribahasa yang
tiba-tiba terkata kala cinta sedang ranum-ranumnya. Atas nama sastra,
aku membuatmu percaya bahwa kita akan selalu bersama meski perbedaan
selalu melekat tak hanya saat saling bergenggaman dan dekat.
Aku juga sudah banyak
mengatasnamakan sastra demi cinta kita. Baiklah, aku ralat juga;
cinta aku yang gila.
Aku selalu gila dengan
perasaan mabuk kepayang bagaikan sehabis menelan buku-buku Kahlil
Gibran. Seharusnya aku percaya perkataanmu tentang kegilaanku pada
sastra lah yang nanti akan menyulitkanku pada akhirnya. Aku pernah
berdusta bahwa aku akan selalu mencintaimu tanpa syarat, seperti saat
aku sedang menyelam dalam tumpukan buku dan tak kembali
bertahun-tahun lamanya, meski sebelumnya telah ku baca semua akibat.
Aku pun selalu ingin membuatmu percaya, bahwa dustaku ini akan
menjadi nyata hingga habis masanya.
Kau pun pernah memaklumi
tingkahku dan melupakan hitunganmu demi belajar kata-kata mutiara
bersamaku. Apakah menyenangkan pernah saling melempar celotehan yang
sebelumnya bahkan terasa asing bagimu? Katakan, paksaku kala itu.
Atas nama cinta, kita
membiarkan fisika dan sastra berbagi cerita. Atas nama cinta, kita
mengecewakan mereka dengan hitungan dan perkataan yang seharusnya tak
pernah ada. Atas nama cinta, kita mengusik hitungan yang sengaja
dipermasalahkan dan bahasan yang awalnya tabu diperbincangkan.
Ternyata kita tidak lebih dari sepasang kekasih yang menangis bersama
demi mempertahankan kecintaan dan kebutaan kita masing-masing pada
fisika dan sastra.
Aku tidak mengapa sudah
menjadi yang lalu bagimu. Seperti kau yang tak pernah mengapa pernah
melukai hatiku dengan hitunganmu. Setahuku, dari dulu cinta tidak
hanya satu, tapi selalu dua, bukan tiga. Cinta tidak untuk diri
sendiri, pun tak pantas terbagi. Kalau pun aku harus mencintai
fisika yang tidak mencintai sastra sepertiku, pasti bukan dirimu.
Kau pecinta fisika yang gagal memahami hitungan matematika dasar
kelas satu. Ternyata fisika dan sastra tidak sama dengan kita.
Terimakasih sudah mengajari sastra menilai massa benda. Setidaknya,
aku pernah mencintaimu. Pernah.
Si Sastra
sastra dan fisika, tiara dan ehem-nyaa
ReplyDeleteyihahahah :D
semangat menulis, poscinta tinggal beberapa hari lagi loh :D
salam
ikavuje
ehem-ehemnya tiara yang udah uhuk-uhuk :"D hihi makasih mbak pos ikah, seneng deh dikomentari tiap hari. rajin banget bacain surat pqrst satu-satu. :*
ReplyDelete