Aku baru saja menanam pohon bunga
sepatu di halaman rumahku saat kau minta aku mengunjungimu. Andai bunganya
mekar nanti, ku harap aku bisa memetik dan memakainya untuk menari di lantai
dansa bersama sosokmu. Ini impianku, melantunkan doa-doa lewat tarian mesra dan
lagu suka-cita menyambut percikan bahagia dari surga. Kau yang tahu bahwa aku
suka menari meski mungkin tak sepandai dirimu, meski otak kananku tak telalu
bisa berkompromi dengan kinerja saraf pengatur gerak motorikku, meski tubuh ini
biasanya kepayahan mengikuti lantunan lagu-lagu yang bahkan mengartikannya saja
aku tak mampu.
Kita pernah membangun taman bunga
yang lebih menyerupai labirin bersama, yang bunga-bunganya ku pilih sendiri
dengan perasaan haru, yang gudang tempat pupuknya berdiri di tanah lapang
milikmu. Setiap tetes air yang kita jatuhkan untuk bunga-bunga itu bagaikan doa
yang yang tak tersampaikan, doa yang selalu lupa kita panjatkan. Jadi tetes
embun di taman itu, biarkan menjadi doa yang tak mampu kita teriakkan bersama.
Aku pernah bertanya padamu,
percayakah kau pada Tuhan. Iya, jawabmu menyembunyikan keraguan karena tertutup
logika-logikamu. Aku pernah bilang, aku suka melihatmu sembahyang, iya aku
suka. Sedikit hal tentang beriringan menghadap Tuhan dalam kekhusyukan pun
pernah kita kompromikan. Belum sekarang, kita lihat saja nanti, katamu. Iya,
biar saja mengalir seperti air, sahutku.
Kita pernah terdiam di hamparan
pasir milik Tuhan, memandang takjub ke cakrawala yang tak terbatas langit
semburat biru menutup rasa heran, menanti senja yang cantik memabukkan
pandangan, menyumpah ombak datang yang menggulung sederas air keran. Menyenangkan,
sebuah memori yang tak ingin ku hapus meski yang lainnya mungkin hendak ku
pupus.
Aku pernah ingin mencintaimu
dengan sederhana, seperti sajak-sajak yang selalu aku suka. Iya, mencintaimu
dengan sederhana, tanpa banyak kata insecure kala cemburu melanda. Pun sejujurnya
aku ingin dicintaimu dengan sederhana, tanpa banyak kata immature kala bosan
meraja. Tidak sulit kedengarannya, tidak mudah pula kenyataannya.
Sebut saja aku egois atas semua
kemanjaanku yang melulu ingin memeluk punggungmu, aku tidak peduli. Setidak peduli
dirimu yang selalu merajuk menggodaku. Bukankah kita pernah terjatuh pada cinta
yang membutakan bersama? Toh selama itu, kita tidak perlu mempermasalahkan bagaimana kau
dan aku sempat pernah tidak mempunyai mata, bukan?
Jika cinta ini merepotkanmu,
setidaknya milikilah dengan utuh, sebelum kau banting agar gaduh. Jika cinta
ini kurang baik bagimu, setidaknya tunjukanlah kemana seharusnya berlabuh,
sebelum tak kau acuhkan lagi hingga pemiliknya jenuh. Pun jika cinta ini
menyulitkanku, setidaknya sudah ku tatakan sarapan, sebelum akhirnya ku lepas
makan malam sendirian. Pun jika cinta ini kurang baik bagiku, setidaknya aku mungkin tak pernah enggan memaafkan, bahkan sebelum sempat kau mintakan.
Aku tidak pandai berandai-andai. Di
sesap kegelisahan yang coba ku redakan sendirian, ada saja yang tak terbatas
rinai. Jangan pegang gading pun belalai, jika tak sanggup kau jatuh di tepi
pantai. Tenang saja, suntikan dogma-dogma baru yang kubiarkan masuk ke aliran
darahku sudah cukup menenangkanku. Aku tidak suka sandiwara, pun linang yang
disebut air mata. Kini aku tidak buta, jadi bersikaplah sebaik-baiknya. Berdoalah
untukku seperti yang ku lakukan untukmu, di sela waktuku yang terbatas untuk
mengingatmu. Ini yang kita sebut-sebut dengan kedewasaan, bukan?
Semesta lah yang mempertemukan
kita di lantai dansa agar di selang nafas yang telah kita hembuskan tergesa
ini, kau dan aku sempat menari bersama, kemudian merajut asa, dan pada akhirnya
terhenti pada jeda yang terlalu lama. Bagaimana mungkin kita tidak mensyukuri setiap
cara Tuhan membahasakan perasaan kita?
Aku pernah terhenti dan
menghitung apa yang sudah kita punya. Mungkin cinta, mungkin asa, lalu apa? Jarak
yang sempat terbentang di antara kita bukan alasan yang bagiku pantas
diributkan. Rindu yang mencabik di antara waktu yang kita ulur bersama bukan
alasan yang bagiku harus dipersoalkan. Saat tak terbentang jarak pun, kesibukan
kau dan aku yang kadang terlalu bahkan bukan alasan yang bagiku patut dikoar-koarkan.
Hingga akhirnya aku lupa bertanya, apa yang menurutmu baik bagimu, bagi kita. Hingga
akhirnya kita lelah juga mengkompromikan visi dengan hati. Hingga akhirnya aku
terpaksa pasrah juga melihatmu sempat salah melangkah. Hingga akhirnya aku juga
yang bosan melihat kepura-puraan yang menjemukan. Maaf.
Kau pernah bertanya, apa yang aku
bisa. Aku bisa mengajarimu sebuah bahasa baru, bahasa kalbu. Aku bisa
menunjukkan padamu tarianku, tarian sendu. Aku bisa menuliskan sebuah kisah
untukmu, kisah tentangmu dan aku. Apa ini sudah lebih dari cukup? Kuharap iya,
karena aku sudah lelah. Aku ingin beristirahat barang sejenak. Aku ingin mengitung
mundur waktu yang masih ku sisakan untukku, menilik langkah kakiku dan kakimu. Berbahagialah
dengan kepergianmu dari hatiku, karena hatiku akan berbahagia menangisi
kelegaannya untuk setiap jawaban dari pertanyaan yang tak sempat ia lontarkan
kepadamu. Meski memarnya tak jua bisa sembuh sekejap mata, butuh waktu, masih
butuh campur tanganmu.
Saat esok tiba, kau dan aku mungkin
sudah akan sadar sepenuhnya, bagaimana kau mulai kehilangan rasa, dan bagaimana
aku mulai merasa kehilangan asa. Pernah terpikirkan olehmu tidak, apa yang akan
kau dapat dan dimana kau akan merapat saat kau pertama membagi hatimu? Sama,
aku pun tidak pernah berpikir sejauh ini saat pertama aku mengikis asaku.
Menyesal? Untuk apa, semua sudah berlalu. Aku bahkan tidak pernah menyesal
pernah berpura-pura tidak terlalu membutuhkanmu, sama halnya dengan kau yang
tidak pernah menyesal pernah berpura-pura tidak terlalu mencintaiku. Kau dan
aku sama-sama sombong, sama-sama angkuh. Jika kau anggap ini sebuah drama, lalu
kau pikir sudikah aku menganggap cinta kau dan aku dulu barang ilusi saja?
Saat kau minta aku untuk tidak
membencimu, seharusnya kau sudah tahu jawabanku..
Anggap saja ini surat cinta
terakhirku. Bukan doa yang kuselipkan di kado ulang tahunmu, bukan mimik muka
yang selalu ingin ku gambar di salah satu jemarimu, bukan pula coretan yang sempat
aku buat diantara lembar kerjamu. Ini surat cinta yang kutulis dengan tinta
ungu untuk obati hatiku yang sedikit kelu karena rindu sosokmu yang dulu. Aku menulisnya lebih karena aku tak mampu membisikkannya ke telingamu; aku terlalu angkuh, sama sepertimu. Bawalah, sembunyikanlah, milikilah sendiri selagi kau mampu. Selamat pagi buta,
kereta sudah memanggilmu. Temui aku di stasiun berikutnya, jika kita masih
sempat punya waktu. Atau, jika kisah ini pada akhirnya hanyalah persinggahanmu
dan aku, maka baiknya kita relakan, maka baiknya kita ikhlaskan, karena Tuhan lah pemilik
rancangan dari segala rancangan, karena Tuhan lah yang paling tahu kemana seharusnya
kau dan aku berhenti saat sedang tidak mencoba saling bertemu meski dalam angan.
*untuk yang terkasih, sebuah
memoar selamat tinggal