Teruntuk kamu,
Kamu, kota
kecil yang penuh dengan iringan irama para penghuninya. Kamu masih sering
memberikan kesejukan, kehangatan, maupun kenyamanan bagi kami, bahkan saat
banyak di antara kami sering berlaku tak tahu diri. Kamu sudah terlalu banyak
menyimpan rahasia kami, cerita kami, lukisan abstrak hidup kami di banyak
lorong tersembunyi. Kamu selalu terdiam, meski mengetahui lebih banyak dari
kami. Kamu menyimpan semua rasa frustasi, haru biru, sedu sedan, keceriaan
pelangi, kegembiraan bawang, dan juga ah-ih-uh-eh kami yang sudah tak mampu
lagi tergambar. Ah, mungkin di antara diammu, kamu tidak peduli, dan kami pun
pura-pura mengerti.
Coba lihat bangunan-bangunan tua hampir roboh itu, yang masih saja kamu berikan pesonamu agar masih sering dikunjungi. Coba lihat para manusia berisik yang menawarkan harta mereka di sepanjang jalanan itu, yang masih saja kamu beri tempat bernaung. Atau coba lihat suasana di bawah bukit itu, yang sudah tersulap menjadi tempat mengerikan penuh keindahan saat senja sore mulai datang. Coba rasakan kebahagiaan para nelayan di sepanjang pesisirmu, untuk semua tangisan ikan, deru ombak, aroma laut, dan angin yang menusuk-nusuk. Ah!
Coba lihat bangunan-bangunan tua hampir roboh itu, yang masih saja kamu berikan pesonamu agar masih sering dikunjungi. Coba lihat para manusia berisik yang menawarkan harta mereka di sepanjang jalanan itu, yang masih saja kamu beri tempat bernaung. Atau coba lihat suasana di bawah bukit itu, yang sudah tersulap menjadi tempat mengerikan penuh keindahan saat senja sore mulai datang. Coba rasakan kebahagiaan para nelayan di sepanjang pesisirmu, untuk semua tangisan ikan, deru ombak, aroma laut, dan angin yang menusuk-nusuk. Ah!
Untuk sebuah kota
kecil yang penuh dengan daya magis rahasiamu, kamu favoritku. Aku, aku adalah
satu di antara ‘kami”, penghunimu yang tak tahu diri. Nantinya, jika terpaksa
aku harus pergi dan tinggal di kota lain, entah di belahan bumi sebelah mana
pun, di pulau mana pun, atau di negara mana pun, aku pasti kembali kepadamu;
menengokmu, atau hanya sekedar bernostalgia dengan semua aroma di sudut-sudut
tempatmu.
Aku pasti akan merindukan saat-saat mengamati orang-orang di
setiap pemberhentian lampu merahmu, suara kereta malam yang kadang terdengar
sampai ke kamarku, atau pasir putih yang pasti menelanjangi kaki-kaki mungilku
meski harus menempuh puluhan kilometer di salah satu bagian kerajaanmu.
Ah Jogja, kota tercintaku,
aku menulis surat
ini seakan aku hendak meninggalkanmu ya? Hmm, iya mungkin, iya pasti, tapi
suati hari nanti. Aku akan meninggalkanmu saat aku sudah menyelesaikan studiku,
atau saat aku sudah tidak hanya memimpikan impianku dan harus meraih dan
memperjuangkan impianku, atau bahkan saat aku yang dengan setia akan mengikuti
dan mendampingi suami masa depanku, di kota
lain. Tetapi jangan khawatir, seperti janjiku, aku pasti kembali. Pasti.
Aku, salah satu penghunimu.
No comments:
Post a Comment