Saya merasa harus menuliskan sesuatu tentang perjalanan pulang saya, lagi-lagi dari kota itu. Kota yang tidak begitu saya sukai, namun akhirnya barangkali akan saya tinggali sebentar lagi. Saya tidak begitu menyukai gedung-gedung pencakar langit dengan banyak kaca menyilaukan yang terlihat dari balik kaca taksi yang saya naiki. Pemandangan buratan senja di tepi laut dengan cakrawala tak berbatas jauh lebih menarik, tentu saja.
Saya mencoba mengingat-ingat pertama kali saya datang, tetapi bahkan ingatan saya sudah melupakan kesetiaannya pada pemiliknya. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari cerita saya, jika hanya pemikiran-pemikiran random tentang hidup tidak begitu menggangu saya kali ini.
Saya pernah merasa terdampar dengan perut kelaparan di terminal entah nomor berapa selepas penerbangan saya dari luar negeri. Seharusnya saya melanjutkan perjalanan saya dari kota itu ke kota saya dengan penerbangan terusan. Tetapi bodohnya, saya lupa memesan tiket pulang. Lebih bodohnya, saya lupa kala itu sudah masuk waktu liburan. Saya kehabisan tiket kereta, pun pesawat juga. Di antara kebingungan, yang saya temukan hanyalah seorang perantara yang menimang tiket seharga lima kali lipat harga biasanya. Hish!
Pada akhirnya, saya memutuskan untuk segera pulang. Saya berencana pergi ke sebuah terminal bus, dan mencari penginapan di dekat sana, lalu pulang keesokan harinya, dengan bus tentu saja. Yang terjadi sesungguhnya, setelah saya sampai di terminal bus tadi, saya bertemu perantara lagi yang menjanjikan saya untuk pulang segera, tengah malam itu juga. Karena sangat lelah dan terlalu malas menyeret koper sambil menggendong ransel terlalu lama, saya meng-iya-kan saja tawarannya. Saya memandang bus tua renta yang akan membawa saya pulang. Akan menjadi perjalanan yang panjang, batin saya.
Saya duduk di samping pengemudi dengan terpaksa. Saya menyaksikan perseteruan beberapa lelaki paruh baya disana yang menyangsikan banyak hal ganjil yang mulai kelihatan. Saya tersadar, saya habis rugi bandar. Saya ditipu, tapi saya mau segera pulang.
Di perjalanan, saya mendengar percakapan bapak sopir dan kernetnya, tentang jalanan yang tidak semulus biasanya, tentang pagi yang terik dan sore yang basah, tentang harga ban mobil dan onderdil. Saya diajak bicara seorang bapak paruh baya tentang hidupnya, tentang anak-anaknya yang beranjak dewasa, tentang rencana hidupnya yang akan segera pindah ke Sumatra sana. Saya mendengarkan, dan menghabiskan hampir seharian berharap saya segera di rumah. Sampai pada akhirnya saya diturunkan di tempat yang saya tidak tahu dimana, di kota sebelah kota saya. Saya benci harus menyeret koper sendiri di tengah malam. Tetapi begitulah yang saya lakukan, ganti bus dan meneruskan perjalanan.
Bukan hanya sekali saya pulang membawa cerita perjalanan yang tidak begitu menyenangkan. Saya pernah pulang dari kota itu naik kereta kelas ekonomi untuk pertama kalinya. Lucu rasanya, saya menelan dua tablet pengantar tidur saya demi ketidakpedulian saya pada kaki-kaki yang kram. Di lain kesempatan, saya juga terpaksa memperpanjang rute perjalanan saya dari kota itu dengan alasan yang berulang: saya kehabisan tiket pulang. Saya meninggalkan kota itu ke kota jarak tiga jam dari kota saya, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus. Teman saya sudah berpesan agar saya menunggu di tempat yang benar, tetapi saya memang seorang amatiran. Saya naik bus tua lagi, tanpa ac dan air mineral. Dengan banyak penumpang yang tidak pedulian.
Saya memandang seorang yang dengan santainya menyulut berbatang-batang rokok di kursi dekat saya. Dia memang sedikit berbeda. Saya hampir mengumpat, memrotes kepulan asap yang dia keluarkan dengan semena-mena. Saya memandang lelaki ini dari kursi belakang dengan seksama. Dengan segala keterbatasannya, barangkali merokok hanyalah sekedar pelariannya dari rasa sakit atas apa yang sudah diberikan hidup yang tidak bisa dia terima. Dia tidak sempurna, lelaki muda yang barangkali mengidap polio sejak lahir tetapi sayangnya tidak tertangani dengan begitu baik entah karena apa. Saya terdiam. Berdoa agar lelaki ini juga mendapatkan kebahagiaan.
Saya juga memperhatikan seorang ibu muda yang menggendong bayinya yang menangis keras di perjalanan pulang ini. Di sampingnya, si suami sibuk mencari mainan untuk menenangkan si bayi. Saya penasaran, akan tumbuh menjadi anak yang bagaimana si bayi kelak. Semoga yang dapat membanggakan kedua orang tuanya.
Saya memang kadang merutuk perjalanan pulang saya yang tidak biasa. Terlalu lama, terlalu melelahkan, terlalu menyebalkan. Tetapi saya tahu, hal-hal yang Tuhan tunjukan pada saya pada banyak perjalanan tadi membuat saya tersadar. Saya harus lebih banyak bersyukur setiap harinya, atas nikmat yang Tuhan limpahkan pada saya.
Ada sebuah pertanyaan yang pernah dilontarkan seorang teman, dulu, kira-kira lima tahun lalu.
"Kalau hujan deras begini, kamu pernah kepikiran sama mereka yang nggak punya rumah buat berteduh?"
Kala itu, saya kurang mengerti maksudnya. Sekarang, setelah begitu banyak hal yang saya lihat di luar sana, saya mulai memahami.
Barangkali manusia harus hidup dengan memegang sebuah prinsip seperti lirik lagu dari salah satu grup vokal favorit saya, Maliq and d'essential, "Buka mata, hati, telinga.."
No comments:
Post a Comment