Kadang aku suka berkunjung
sendirian ke perpustakaan kota, tanpa tujuan. Atau lebih tepatnya, hanya
sekedar untuk menghabiskan waktu. Aku memang tidak mempunyai banyak waktu, tapi
aku tidak mau terlalu sering membuangnya dengan kegiatan yang itu-itu. Suatu
siang, aku bisa duduk sendirian hampir dua jam di bangku taman perpustakaan
kota hanya dengan layar laptop di depanku, atau aku bisa duduk di antara banyak
orang yang tidak aku kenal di dalam ruang perpustakaan kota yang sempit demi
membaca buku psikologi manusia yang tidak terlalu mudah aku mengerti. Di suatu
siang yang lain, aku akan mampir ke perpustakaan kota lalu memilih dan meminjam
buku sastra apa saja dengan tergesa.
Hari itu aku meminjam dua buku, The old man and the sea oleh Ernest
Hemingway dan The History of Love
oleh Nicole Krauss. Aku memang orang sastra, lebih tepatnya orang yang
berkuliah di jurusan sastra, tapi aku baru mengenal Ernest Hemingway semenjak
aku menonton film tahun 2011 berjudul Midnight
in Paris. Sebuah film tentang seorang penulis dan kerap terjebak di
masa-masa kejayaan sasrawan di Paris. Mungkin aku akan membahasnya lain kali.
Tentang buku kedua, sebenarnya
aku hanya asal saja. Aku tidak pernah mendengar nama Nicole Krauss sebelumnya.
Awalnya aku hanya tertarik pada dua hal. Di sampul buku itu, tertulis shortlisted by Richard&Judy’s British
Book awards 2006. Yang kedua, judul buku yang diketik dengan huruf Times
New Roman yang mungkin bagi kebanyakan orang terlihat membosankan. Menurutku, kalau
buku Nicole Krauss ini sampai masuk dalam nominasi British Book awards dan lagi
di dalamnya memuat cerita tentang sesuatu yang belum juga mampu aku pahami,
mungkin saja menarik.
Sesampainya di rumah, aku hanya
membaca sinopsis di sampul belakang dan meletakkannya di meja belajar. Butuh
waktu seminggu untuk mendiamkannya sebelum aku mulai meneliti buku ini. Bab
pertama, tentang seorang lelaki tua bernama Leopold Gursky. Krauss menggunakan
sudut pandang orang pertama untuk memulai ceritanya. Menempatkan kita di posisi
si lelaki tua, yang memceritakan suatu masa dimana dia mencintai seorang wanita
yang akhirnya terpisah saat si wanita pergi ke Amerika. Apa yang dilihat dan
dirasakannya dahulu, dan apa yang dilihat dan dirasakannya sekarang. Sebuah
cerita dengan alur maju-mundur yang dikemas dengan bahasa yang khas. Gursky
menyusul ke Amerika dan akhirnya kecewa dengan kenyataan bahwa wanitanya sudah
menikah dengan seorang pria lain belum lama setelah wanita itu melahirkan
seorang anak laki-laki, anak Gursky. Selama lima tahun, Gursky yang terpaksa
bersembunyi di hutan, memang dikabarkan sudah meninggal pada pembantaian
orang-orang Yahudi di Polandia oleh Nazi. Sebuah cerita pahit yang dibungkus
cantik dengan sejarah perang masa lalu. Tidak sedikit potongan sejarah yang
Krauss ceritakan di novel ini, lebih-lebih masa perang dunia.
Bab kedua masih menggunakan sudut
pandang orang pertama, tapi kali ini bukan Gursky, melainkan seorang anak
hampir lima belas tahun bernama Alma. Sewaktu Alma lahir, oleh ibunya ia diberi
nama menurut nama setiap gadis di buku pemberian ayahnya pada ibunya, judulnya The History of Love. Ayanhnya sudah
meninggal. Ibunya adalah seorang wanita Inggris pintar yang telah memilih
meninggalkan kuliahnya di Oxford demi hidup di Amerika dengan pria Israel yang
dicintainya. Alma kini hanya tinggal dengan ibunya yang sekali-kali
menerjemahkan buku, dan seorang adik laki-laki yang percaya bahwa dirinya
adalah seorang Mesias.
Bab ketiga tentang seorang Zvi
Littinoff, seseorang yang dipercaya telah mengarang buku The History of Love dalam bahasa Spanyol. Krauss kali ini
meggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Menceritakan tentang
bagaimana keseharian Zvi yang tidak pernah diketahui orang lain, bahkan
istrinya sendiri. Zvi tinggal di Chili, dimana Zvi melarikan diri dari kota
kelahirannya dan akhirnya bertemu wanita yang menjadi istrinya, Rosa.
Begitulah Krauss menulis,
menggunakan tiga sudut yang berbeda. Pola yang sama diulang pada bab-bab
seterusnya, meski Krauss sendiri tidak menamainya dengan bab, melainkan memberi
judul setiap bab barunya. Misalnya, pada bab kelima dengan Alma sebagai aku,
berjudul My father’s Camp. Pada
bab-bab dimana Alma sebagai ‘aku’, Krauss tidak menulis sebuah cerita dengan
alur maju-mundur seperti di bab-bab Leopold Gursky sebagai ‘aku’. Krauss hanya
menulis poin-poin kemudian menjelaskannya dalam cerita-cerita singkat yang akan
membuat kita berimajinasi sendiri tentang runtutan ceritanya sesuai yang kita
kira.
Di setiap lembar, jika kita
sabar, kita akan terus penasaran membalik halaman demi halamannya. Aku sendiri
selesai membaca novel ini hanya dalam dua hari; membaca sampai tertidur di
suatu malam dan meneruskannya dari siang keesokan harinya hingga larut malam,
hingga lupa makan. Aku sendiri tipikal orang yang tidak suka mencuri-curi
membaca lembar-lembar belakang saat membaca novel, dan karena novel ini sangat
menarik (bagiku), aku tidak bisa berhenti membaca lanjutan ceritanya, bab demi
bab.
Di setiap bab, kita akan
menemukan fakta yang baru, yang mengajak kita menerka-nerka masa lalu para tokoh
ceritanya. Misalnya, tentang nama wanita yang dicintai Leopold Gursky yan
ternyata juga bernama Alma, atau tentang naskah yang ditulis Gurski dalam
bahasa Yiddish yang telah hilang puluhan tahun lalu yang kembali lagi ke
tangannya dalam bahasa Inggris. Ataupun tentang siapa sebenarnya Zvi dan
bagaimana novel berbahasa Spanyol The
History of Love bisa berada di tangan Charlotte Singer, ibu Alma yang
akhirnya menginspirasinya.
Pada akhirnya, cerita ini memang
tidak terlalu menjelaskan dengan gamblang tentang sejarah cinta maupun
penciptaannya (seperti yang sebelumnya terbayangkan), tetapi di balik cerita
kompleks tentang kehidupan perang hingga ke modern para imigran, penulis, penerjemah,
bahkan anak kecil yangada di dalam novel ini dapat dikatakan sebagai
tokoh-tokoh yang hidup. Krauss seolah
memberi mereka jiwa, yang tidak hanya mentranfer cerita dan ide-ide yang
termuat dalam alurnya, tetapi juga makna dibalik bahasanya. Seperti sebuah
judul naskah Leopold Gursky yang dikirimkan kepada anaknya Isaac Moritz yang
pada novel ini merupakan seorang penulis yang akhirnya meninggal di usianya
yang ke lima puluh; Words for Everything
untuk menggantikan Launghing & Crying
& Writing & Waiting.
*Novel The History of Love ini adalah novel terbitan tahun 2005 dan
ternyata telah diterjemahkan ke lebih dari dua puluh lima bahasa. Penulisnya,
Nicole Krauss yang kini sudah berusia sekitar 39 tahun masih tinggal di
Brooklyn, New York. Novel pertamanya, Man
Walks into a Room, dinominasikan untuk Los Angeles Times Book Award.
**ditulis di sela waktu pembuatan
presentasi sidang kelulusan, bukan karena sangat bosan, tetapi sangat ingin
menuliskan yang melayang-layang di kepala. Sebuah bentuk kekaguman pada seorang
penulis yang baru dikenal. (aduh, hiperbolanya keluar!)
No comments:
Post a Comment