Judul Buku :
Ayah
Penulis :
Andrea Hirata
Penerbit :
PT. Bentang Pustaka
Halaman : 412
ISBN :
978-602-291-102-9
Cetakan I :
Mei 2015
Saya selalu mengagumi keahlian Andrea Hirata menceritakan
detail atau latar di tiap kisah yang ditulisnya. Tidak terlewat, dari buku
berjudul Ayah yang satu ini. Barangkali
benar jika Andrea Hirata selalu membuat pembacanya kemudian mengagumi Belitong,
bahkan sebelum kita sempat ke sana.
Di sebuah desa bernama Belantik, Pulau Belitong, semuanya
dimulai. Seorang lelaki bernama Sabari cinta mati dengan perempuan bernama
Marlena, yang pertama ditemuinya saat ujian masuk Sekolah Menegah Atas Negeri. Ia
tidak pernah berpaling dari gadis ayu yang biasa dipanggil Lena tersebut, meski
perlakuan buruk kerap diterimanya, meski ketiga sahabatnya yang bernama Ukun,
Tamat, dan Toharun, telah menyuruhnya melupakan Lena. Bahkan saat bertahun
kemudian Lena justru hamil di luar nikah, Sabari rela menumbalkan diri untuk
menikahi Lena, demi menyelamatkan nama baik keluarga dari wanita pujaannya itu.
Sabari—yang diberi nama demikian oleh Ayahnya dengan harapan
bahwa ia bisa selalu sabar—dengan lapang dada memberikan kasih sayang tiada
tara untuk anak yang dipanggilnya Zorro, meski bukan anak kandungnya. Satu demi
satu sumber kebahagiaan Sabari terenggut, setelah Lena, wanita yang diperistrinya
tersebut akhirnya menggugat cerai Sabari dan mengambil paksa Zorro saat anak
itu baru berusia tiga tahun. Kesedihan Sabari menjadi-jadi, hingga bertahun
kemudian ia terus berharap anak kesayangan yang baginya memiliki pelukan serupa
awan itu kembali.
Cerita Andrea Hirata yang satu ini sangat kompleks, mengalir
tak terduga. Runtutan cerita yang maju-mundur seolah mengajak pembaca
merangkaikan sendiri puzzle-puzzle
yang berserakan, seakan menunggu kita merampungkan cerita hingga mendapati
pesan indah betapa kasih sayang Ayah kepada anak juga tidak kalah besar dari
kasih sayang seorang ibu kepada anak, seperti yang kerap dibicarakan orang
kebanyakan.
Tidak hanya cerita tentang hubungan antara orangtua dan anak
yang bisa ditemukan dalam kisah ini, namun juga kegigihan dan dedikasi dalam
menjalankan sesuatu, haru biru persahabatan, cinta tulus yang tidak mengharap
pamrih, bahkan hal-hal yang awalnya terkesan sepele seperti betapa pentingnya kemampuan
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ya, dalam buku Ayah, diselipkan cerita mengenai Ukun dan Tamat yang dibekali kamus
oleh mantan guru Bahasa Indonesia mereka, saat hendak melakukan perjalanan
menyusuri Sumatra demi menemukan Lena dan Zorro yang bertahun-tahun tiada
rimbanya.
Yang saya suka, Andrea Hirata juga menyelipkan pesan, atau
bisa dibilang mengungkapkan keprihatinannya, akan semakin tipisnya generasi
sekarang yang berkirim surat dengan sahabat pena. Hal tersebut diceritakan dengan
renyah melalui kecintaan Lena berkirim surat dengan para sahabat penanya.
Selain itu, cerita menarik lain terselip dan bermula dari
pesan alumunium yang dikirim Sabari untuk menemukan Zorro lewat seekor penyu.
Cerita yang kemudian—bagi saya—menambah haru buku yang satu ini; mengenai
anak-anak suku Aborigin yang pernah mengalami masa suram, terpisahkan dengan
sanak saudaranya.
Bagi saya, cerita yang dibawakan Andrea Hirata melalui
tokoh-tokohnya yang sederhana, yang sebagian besar menggambarkan orang-orang dari
kalangan kurang berada, yang kerap dipandang sebelah mata itu justru memberi
kita peluang untuk terus belajar dari hidup, melihat lebih awas dan menyukuri lebih
dalam untuk tiap detail cerita ada.