Saturday 26 March 2016

Malam memekat, anak kelinci keluar berlarian sambil membawa telur-telur angsa. Bulan malu-malu menampakkan sisa sinarnya. Ia sudah kelelahan setelah purnama kadasa.

Aku masih saja menulis daftar belanja, menimang-nimang apa saja yang harus aku bawa. Hatiku, atau keyakinanku yang kian berada dalam batas tipis nestapa. Keluh hanya akan menjadi beban selanjutnya jika tidak ditanggapi dengan bijaksana. Aku masih percaya, doa sudah berhasil melipat-lipat jarak yang sesungguhnya ada di antara aku dan dia. Barangkali baru kali ini aku menulis tentangnya, meskipun setiap detik potongan wajahnya terus saja berseliweran mengganggu konsentrasi kerja. Yang tentu, tak perlu dikutuk barang sedikit saja.

Pernah aku tulis surat untuknya, setelah adu prasangka yang tidak hanya menyiksa tapi juga menggeser setiap kata iya. Entah sejak kapan aku mulai memperhatikannya. Bisa jadi dulu sekali, bahkan sebelum sempat bersua. Entah sejak kapan juga Tuhan merencanakan kebersamaan aku dan dia. Bisakah selamanya? Ya, seperti sempurna, tidak ada rumus bisa untuk selamanya. Tapi paling tidak, sampai habis masa kita di dunia.

Pernah terangkum kata, jika berdampingan dengan penulis dan ia tidak pernah menulis tentangmu, maka bisa jadi tidak benar-benar cinta. Ah, si penulis sudah melantur saja.

Ada penat yang enggan pergi dari meja kerja. Ada rindu yang tertahan di satu tombol saja. Aku hanya bisa berdoa, hingga nanti ia sudi membaca setiap halaman yang belum sempat aku tulis tentangnya. Hingga terhapus sudah tanda tanya. Hingga mengerti juga ia dengan nanti yang datang terbata-bata.

Ingin mengucur tangis, tapi tertahan saja di pelupuk mata. Barangkali aku yang terlalu jahat mengulur waktu berlama-lama. Atau barangkali waktu yang jahat sudah mempertemukan kita. Tiba-tiba jemari tidak ingin berhenti menari dan berbisik tentangnya. Barangkali rindu sedang ranum-ranumnya, tapi aku bisa apa? Masih harus menunggu tiga puluh tiga hari sebelum tiba pertemuan selanjutnya.