Saturday 23 February 2013

Book: The History of Love by Nicole Krauss


Kadang aku suka berkunjung sendirian ke perpustakaan kota, tanpa tujuan. Atau lebih tepatnya, hanya sekedar untuk menghabiskan waktu. Aku memang tidak mempunyai banyak waktu, tapi aku tidak mau terlalu sering membuangnya dengan kegiatan yang itu-itu. Suatu siang, aku bisa duduk sendirian hampir dua jam di bangku taman perpustakaan kota hanya dengan layar laptop di depanku, atau aku bisa duduk di antara banyak orang yang tidak aku kenal di dalam ruang perpustakaan kota yang sempit demi membaca buku psikologi manusia yang tidak terlalu mudah aku mengerti. Di suatu siang yang lain, aku akan mampir ke perpustakaan kota lalu memilih dan meminjam buku sastra apa saja dengan tergesa.

Hari itu aku meminjam dua buku, The old man and the sea oleh Ernest Hemingway dan The History of Love oleh Nicole Krauss. Aku memang orang sastra, lebih tepatnya orang yang berkuliah di jurusan sastra, tapi aku baru mengenal Ernest Hemingway semenjak aku menonton film tahun 2011 berjudul Midnight in Paris. Sebuah film tentang seorang penulis dan kerap terjebak di masa-masa kejayaan sasrawan di Paris. Mungkin aku akan membahasnya lain kali.

Tentang buku kedua, sebenarnya aku hanya asal saja. Aku tidak pernah mendengar nama Nicole Krauss sebelumnya. Awalnya aku hanya tertarik pada dua hal. Di sampul buku itu, tertulis shortlisted by Richard&Judy’s British Book awards 2006. Yang kedua, judul buku yang diketik dengan huruf Times New Roman yang mungkin bagi kebanyakan orang terlihat membosankan. Menurutku, kalau buku Nicole Krauss ini sampai masuk dalam nominasi British Book awards dan lagi di dalamnya memuat cerita tentang sesuatu yang belum juga mampu aku pahami, mungkin saja menarik.

Sesampainya di rumah, aku hanya membaca sinopsis di sampul belakang dan meletakkannya di meja belajar. Butuh waktu seminggu untuk mendiamkannya sebelum aku mulai meneliti buku ini. Bab pertama, tentang seorang lelaki tua bernama Leopold Gursky. Krauss menggunakan sudut pandang orang pertama untuk memulai ceritanya. Menempatkan kita di posisi si lelaki tua, yang memceritakan suatu masa dimana dia mencintai seorang wanita yang akhirnya terpisah saat si wanita pergi ke Amerika. Apa yang dilihat dan dirasakannya dahulu, dan apa yang dilihat dan dirasakannya sekarang. Sebuah cerita dengan alur maju-mundur yang dikemas dengan bahasa yang khas. Gursky menyusul ke Amerika dan akhirnya kecewa dengan kenyataan bahwa wanitanya sudah menikah dengan seorang pria lain belum lama setelah wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki, anak Gursky. Selama lima tahun, Gursky yang terpaksa bersembunyi di hutan, memang dikabarkan sudah meninggal pada pembantaian orang-orang Yahudi di Polandia oleh Nazi. Sebuah cerita pahit yang dibungkus cantik dengan sejarah perang masa lalu. Tidak sedikit potongan sejarah yang Krauss ceritakan di novel ini, lebih-lebih masa perang dunia.

Bab kedua masih menggunakan sudut pandang orang pertama, tapi kali ini bukan Gursky, melainkan seorang anak hampir lima belas tahun bernama Alma. Sewaktu Alma lahir, oleh ibunya ia diberi nama menurut nama setiap gadis di buku pemberian ayahnya pada ibunya, judulnya The History of Love. Ayanhnya sudah meninggal. Ibunya adalah seorang wanita Inggris pintar yang telah memilih meninggalkan kuliahnya di Oxford demi hidup di Amerika dengan pria Israel yang dicintainya. Alma kini hanya tinggal dengan ibunya yang sekali-kali menerjemahkan buku, dan seorang adik laki-laki yang percaya bahwa dirinya adalah seorang Mesias.

Bab ketiga tentang seorang Zvi Littinoff, seseorang yang dipercaya telah mengarang buku The History of Love dalam bahasa Spanyol. Krauss kali ini meggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Menceritakan tentang bagaimana keseharian Zvi yang tidak pernah diketahui orang lain, bahkan istrinya sendiri. Zvi tinggal di Chili, dimana Zvi melarikan diri dari kota kelahirannya dan akhirnya bertemu wanita yang menjadi istrinya, Rosa.

Begitulah Krauss menulis, menggunakan tiga sudut yang berbeda. Pola yang sama diulang pada bab-bab seterusnya, meski Krauss sendiri tidak menamainya dengan bab, melainkan memberi judul setiap bab barunya. Misalnya, pada bab kelima dengan Alma sebagai aku, berjudul My father’s Camp. Pada bab-bab dimana Alma sebagai ‘aku’, Krauss tidak menulis sebuah cerita dengan alur maju-mundur seperti di bab-bab Leopold Gursky sebagai ‘aku’. Krauss hanya menulis poin-poin kemudian menjelaskannya dalam cerita-cerita singkat yang akan membuat kita berimajinasi sendiri tentang runtutan ceritanya sesuai yang kita kira.

Di setiap lembar, jika kita sabar, kita akan terus penasaran membalik halaman demi halamannya. Aku sendiri selesai membaca novel ini hanya dalam dua hari; membaca sampai tertidur di suatu malam dan meneruskannya dari siang keesokan harinya hingga larut malam, hingga lupa makan. Aku sendiri tipikal orang yang tidak suka mencuri-curi membaca lembar-lembar belakang saat membaca novel, dan karena novel ini sangat menarik (bagiku), aku tidak bisa berhenti membaca lanjutan ceritanya, bab demi bab.

Di setiap bab, kita akan menemukan fakta yang baru, yang mengajak kita menerka-nerka masa lalu para tokoh ceritanya. Misalnya, tentang nama wanita yang dicintai Leopold Gursky yan ternyata juga bernama Alma, atau tentang naskah yang ditulis Gurski dalam bahasa Yiddish yang telah hilang puluhan tahun lalu yang kembali lagi ke tangannya dalam bahasa Inggris. Ataupun tentang siapa sebenarnya Zvi dan bagaimana novel berbahasa Spanyol The History of Love bisa berada di tangan Charlotte Singer, ibu Alma yang akhirnya menginspirasinya.

Pada akhirnya, cerita ini memang tidak terlalu menjelaskan dengan gamblang tentang sejarah cinta maupun penciptaannya (seperti yang sebelumnya terbayangkan), tetapi di balik cerita kompleks tentang kehidupan perang hingga ke modern para imigran, penulis, penerjemah, bahkan anak kecil yangada di dalam novel ini dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh yang hidup. Krauss seolah memberi mereka jiwa, yang tidak hanya mentranfer cerita dan ide-ide yang termuat dalam alurnya, tetapi juga makna dibalik bahasanya. Seperti sebuah judul naskah Leopold Gursky yang dikirimkan kepada anaknya Isaac Moritz yang pada novel ini merupakan seorang penulis yang akhirnya meninggal di usianya yang ke lima puluh; Words for Everything untuk menggantikan Launghing & Crying & Writing & Waiting.

*Novel The History of Love ini adalah novel terbitan tahun 2005 dan ternyata telah diterjemahkan ke lebih dari dua puluh lima bahasa. Penulisnya, Nicole Krauss yang kini sudah berusia sekitar 39 tahun masih tinggal di Brooklyn, New York. Novel pertamanya, Man Walks into a Room, dinominasikan untuk Los Angeles Times Book Award.

**ditulis di sela waktu pembuatan presentasi sidang kelulusan, bukan karena sangat bosan, tetapi sangat ingin menuliskan yang melayang-layang di kepala. Sebuah bentuk kekaguman pada seorang penulis yang baru dikenal. (aduh, hiperbolanya keluar!)

Monday 11 February 2013

Parents


Dear Mommy and Daddy,

I'm not gonna make a touchy letter I guess. Well, you know that I have a syndrome called I-have-no-idea-to-show-how-much-I-love-you. 

Sometimes I hate you both for the things you've done, the things you've said, and the things you've shown to me. But the more I (try to) hate you, the more I realize that I do love you. It's just too complicated to be explained. Now I'm not going to blame you both for many things I should face, not anymore.

I'm sorry for every fault you both thought I've done. I'm sorry for screwed up many things. I'm sorry for my egoism, my careless, my arrogance, and everything..

Dear Mom, thank you for trusting me, forgiving me, and always be the best for me. You know, I just want to make you happy.
Dear Dad, thank you for giving me chances to do many things in my way though you're not always supporting me. You know, I just want to make you proud of me.

Promise me, you will always give me those never failing smiles even when I don't see. You both, I love you.

your (always little) girl

Saturday 2 February 2013

Terbuang

Untuk si pemilik bibir lembab yang hangat,

Ah kamu, apa kabar sekarang? Sepertinya sudah mendapatkan aku yang baru. Jujur, aku cemburu. Iya memang, terserah kalau anggapanmu berlebihan.

Aku ingat saat kita masih sering bersama dulu. Aku yang selalu menemani pagimu yang berantakan. Kadang kamu bertanya padaku tentang minuman apa yang harus kamu buat. Aku hanya bisa terkekeh dengan pertanyaan bodohmu yang itu-itu. Tentukan saja sesuai moodmu, batinku. Iya, toh kamu selalu bertindak sesuai moodmu, jadi untuk apa bertanya padaku?

Suatu pagi, kamu akan minum susu milo hangat tanpa ekstra gula. Katamu, kamu tidak mau terserang diabetes di usia 30an. Di pagi yang lain, kamu akan minum kopi hazelnut kesukaanmu, dan menyalahkanku karena rasanya yang palsu. Aku perhatikan, akhir-akhir ini kamu mulai sering meminum green tea latte yang sudah menjadi favoritmu yang baru. Untuk hal yang kamu suka saja, kamu tidak pernah konsisten ya? Lalu bagaimana perasaanmu terhadapku?

Aku juga ingat, aku yang dulu selalu menemani malam-malammu yang panjang dan membosankan. Kalau kamu sehabis membeli banyak cemilan, kamu akan mengajakku menikmati kopi dicampur banyak sekali susu bubuk vanila. Kamu bilang, itu resep rahasia. agar rasa kopinya tidak terlalu pahit disesap seperti kenangan yang enggan dilupakan.

Dulu aku tidak mengerti maksud perkataanmu. Tapi sejak kamu meninggalkanku, aku jadi tahu. Pantas saja, matamu dulu sering berkaca-kaca kalau sehabis menata kotak-kotak di kamar kesayanganmu, meski ada aku. Ada apa sih di kotak itu? Apa itu kotak kenanganmu? syang sekali kamu tidak pernah menunjukkannya padaku.

Aku sekarang terbuang, dan merasa dicampakkan. Pernah tidak, sekali saja kamu memikirkanku? Ini tidak adil. Habis manis, sepah dibuang. Begitu kah kamu memperlakukan kekasih-kekasihmu yang dulu? Kalau iya, tunggu saja yang namanya karma. Kamu tidak percaya kalau karma itu ada, tapi aku percaya.

Aku rindu bibirmu yang lembab dan hangat. Aku rindu saat bibir-bibir kita bertemu kala kamu sedang menikmati minumanmu. Aku tidak keberatan menampung milo hangat yang selalu kamu tegak dengan semangat, ataupun green tea latte yang selalu lama sekali kamu habiskan tanpa sebab. Bahkan, aku tidak akan keberatan jika menemanimu minum kopi pagi buta yang pahit kalau kamu sedang kehabisan susu bubuk vanilla, meski aku sangat tidak menyukainya. Biar saja aku mengecap pahit kopi panas berlama-lama, asal bisa merasakan bibirmu yang manis sebentar saja. Aku hanya ingin bersamamu lagi. Bibirku juga ingin dikecup lagi.

dariku, cangkir kesayangan yang tidak sengaja kamu pecahkan