Thursday 23 August 2012

#1


Dalam rentetan doa tidak beraturan, seorang anak kecil terdiam. Dia hanya ingin mengucapkan doa seperti orang-orang, dengan yang mereka sebut khusyuk, dengan linang yang ajaibnya mereka teteskan dari kedua bola mata mereka, dengan mimik sakit siksa yang mereka rasa mengenang semua dosa. Iya dosa, anak kecil itu bakhan tak tahu apa itu dosa, lalu bagaimana dia bisa berlaku seperti mereka? Butakah matanya, tulikah telinganya, atau mati rasakah hatinya? Tidak. Dia hanya tidak mengerti konsep kehidupan, terlalu lama terjebak dengan banyak boneka nyaman, terlalu lama tidak mempedulikan sengat lebah diantara taman bunganya, terlalu lama berpura-pura bahagia dengan keranjang buah plastik pemberian Ibunya.
Dadanya sakit, sesakit ditusuk gading purba tepat di jantung bernadinya. Biasanya dia merengek pada Ibunya yang lalu tergesa mengambil segumpal ramuan kasih untuk mengobatinya. Kali ini tidak, dia diam. Dia sedang berpura-pura, dan menelan kesedihannya mentah-mentah. “Aku ingin tahu apa aku bisa seperti mereka.” katanya. Dia bertahan, dengan keras kepala dia bersikeras berpura-pura tidak menderita dengan pilihannya. Seolah menolak uluran tangan yang bahkan belum sempat menjadi nyata, walau tubuhnya rindu meringkuk dalam peluk hangat entah siapa saja.
Dalam kebisuan, dia bertanya pada Tuhan seolah sudah mampu merangkai gumpalan kata-kata untuk anak seusianya,
"Rancangan apakah yang kau persiapkan untukku Tuhan?"
"Baikkah untukku? Menyenangkankah seperti taman bermainku?"
"Burukkah untukku? Mengerikankah seperti hantu yang datang di setiap mimpiku?
Diam.
Diam.
Diam
Tiada jawaban.
Tuhan tidak mau menjawab.. pikirnya.